Senator AS Kenalkan RUU Untuk Pangkas Kekebalan Twitter dan Facebook
Senator Amerika Serikat dari Partai Republik Josh Hawley memperkenalkan Rancangan Undang-Undang yang berpotensi mengekang bisnis iklan danmenghapus kekebalan monetisasi konten perusahaan teknologi, seperti Facebook dan Twitter.
RUU berjudul 'Ketetapan bagi Perusahaan Iklan yang Menurunkan Layanan' ini bertujuannya menindak pengumpulan data invasif oleh raksasa teknologi. RUU itu juga merupakan upaya politisi AS untuk mengurangi kekebalan perusahaan teknologi yang berlindung di balik pasal atau section 230 pada Undang-undang Keterbukaan Komunikasi.
Hawley mengatakan, berbagai kerugian dirasakan oleh konsumen dari bisnis iklan yang diskriminatif oleh raksasa teknologi. "Dari pelanggaran privasi, melukai anak-anak, hingga penindasan ucapan, akibatnya sangat nyata," katanya dikutip dari Reuters pada Selasa (28/7). Twitter hingga Facebook dianggap memonetisasi, mengedit, dan ikut terlibat menyunting konten pengguna.
Senator dari Partai Demokrat Brian Schatz dan Senator Partai Republik lainnya John Thune mengatakan akan mengadakan sidang untuk memeriksa peran section 230. RUU yang dikenalkan Hawley merupakan tindak lanjut dari penandatanganan perintah eksekutif oleh Presiden AS Donald Trump pada Mei lalu.
Trump ingin mencari celah pengawasan atas tindakan moderasi konten raksasa teknologi itu. Dia mendukung aturan yang membatalkan atau melemahkan section 230 dalam upaya untuk mengatur platform media sosial.
Hawley merupakan sekutu Trump. Ia juga merupakan kritikus perusahaan-perusahaan media sosial yang dianggap terlalu berlebihan menindak setiap ucapan Trump di platform-nya.
Selain Hawley, senator lainnya mendukung upaya Trump, yakni Rubio, Kelly Loeffler, dan Kevin Cramer. Mereka pun mendesak Komisi Komunikasi Federal untuk meninjau kemungkinan revisi aturan perlindungan tanggung jawab atas layanan Twitter hingga Facebook.
"Inilah saatnya untuk mengkaji section 230 dan menafsirkan standar samar 'niat baik' dengan pedoman dan arahan khusus," kata mereka dikutip dari Reuters, Juni lalu (10/6).
Tindakan Trump dan para senator itu tidak terlepas dari aksi Twitter yang membatasi beberapa unggahan Trump di platform-nya. Twitter melakukan cek fakta pada salah satu cuitan Trump, dan tak lama berselang menyembunyikan unggahan Trump yang berbunyi "ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai." Konten ini terkait unjuk rasa atas kematian George Floyd.
Upaya Trump tersebut juga memicu perlawanan dari Twitter dan Facebook. Twitter menentang perintah eksekutif tersebut. "Ini merupakan pendekatan reaksioner dan politisasi terhadap hukum," kata perusahaan melalui platform-nya.
Perusahaan menyampaikan, section 230 melindungi inovasi dan kebebasan berekspresi warga AS. "Itu ditopang oleh nilai-nilai demokrasi. Upaya untuk mengikis secara sepihak itu mengancam masa depan kebebasan berbicara dan internet," katanya.
Juru bicara Facebook Liz Bourgeois pun mengatakan, perusahaan berupaya melindungi kebebasan berekspresi penggunanya. "Sambil melindungi komunitas dari konten berbahaya, termasuk unggahan yang mendorong warga untuk golput," ujar dia. Hal itu disampaikan, lantaran Twitter memeriksa kebenaran fakta cuitan Trump terkait kemungkinan manipulasi dalam pemungutan suara 2020.
Facebook menilai, perintah eksekutif yang dirilis akibat perseteruan Trump dengan Twitter tersebut justru akan membatasi kebebasan warga AS dalam berekspresi. "Mencabut atau membatasi Section 230 akan memiliki efek sebaliknya. Ini akan membatasi lebih banyak percakapan secara online," ujar Bourgeois.
Facebook terus menyaring konten ujaran kebencian yang bertebaran di platform media sosialnya. Jumlah tertinggi terjadi pada triwulan I-2020 yang mencapai 9,6 juta konten ujaran kebencian.