Ekonomi Lesu, BI Memilih Tahan Bunga Acuan 4% untuk Jaga Rupiah
Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan sebesar 4% demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah potensi tekanan di pasar keuangan. Suku bunga fasilitas simpanan alias deposito facility tetap 3,25% dan bunga pinjaman atau lending facility sebesar 4,75%.
"Dengan berbagai asesmen global dan domestik seperti inflasi dan stabilitas rupiah, rapat dewan gubernur BI pada 16-17 September 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 4%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi video, Kamis (17/9).
Perry menjelaskan keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang rendah. Nilai tukar rupiah hingga kini masih relatif terkendali meski terjadi tekanan yang cukup tinggi di pasar keuangan pada Agustus dan September 2020.
"Ke depan, BI memandang rupiah berpotensi menguat seiring tingkat rupiah yang masih berada di bawah fundamentalnya," katanya
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah hingga pukul 14.35 WIB menguat ke posisi Rp 14.842 per dolar AS. Sepanjang tahun ini, rupiah telah terdepresiasi sebesar 7,15%
Sementara inflasi hingga Agustus 2020 relatif rendah. Secara year to date atau Januari-Agustus 2020, inflasi hanya mencapai 0,93%. Indonesia bahkan mengalami deflasi dua bulan berturut-turut pada Juli dan Agustus.
Perry menjelaskan, BI akan menggunakan instrumen likuditas di luar suku bunga ntuk mendorong pemulihan ekonomi. Salah satunya, dalam bentuk dukungan kepada pemerintah dalam mempercepat realisasi APBN 2020.
BI juga memutuskan untuk memperpanjang periode ketentuan insentif pelonggaran giro wajib minumum rupiah sebesar 50bps bagi bank yang menyalurkan kredit UMKM, ekspor dan impor, serta sektor prioritas dari 31 Desember 2020 menjadi 30 Juni 2021.
"Kemudian mendorong pengembangan instrumen pasar uang untuk mendukung pembiayaan korporasi dan UMKM sejalan dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional," katanya.
Mobilitas masyarakat masih melandai pada Agustus 2020. Konsumsi rumah tangga membaik seiring penyaluran bantuan sosial dan pembagian gaji ke-13 PNS, tetapi masih bersifat terbatas.
"Beberapa indikator dini menunjukkan perbaikan penjualan ritel, purchasing manufacturing index menunjukkan perbaikan ekonomi di luar Jawa yang memiliki ekspor komoditas," katanya.
Ekspor membaik sejalan dengan kenaikan permintaan global khususnya dari AS dan Tiongkok untuk beberapa komoditas. Ke depan, pemulihan ekonomi akan bergantung pada perkembangan mobilitas masyarakat. "BI akan terus meningkatkan sinergi agar berbagai kebijakan yang ditempuh semakin efektif mendorong pemulihan ekonomi nasional," ujarnya.
Ketidakpastian global masih tinggi dipengaruhi oleh isu geopolitik antara lain ketegangan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat, Tiongkok dengan India, hingga Brexit. Sementara itu, kontraksi ekonomi di Eropa mulai menurun memberikan sentimen positif.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai bank sentral sebenarnya masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan. Pemulihan ekonomi juga mulai lembat pada Agustus dan September seiring ketidakpastian di dalam dan luar negeri yang masih cukup tinggi.
"BI mungkin ingin tetap mendorong dana asing tetap masuk. Selain itu, memang untuk mendorong ekonomi saat ini, kebijakan fiskal lebih penting," ujar David kepada Katadata.co.id.
Senada, Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menilai ruang penurunan suku bunga masih ada meski terbatas. Tingkat inflasi masih sangat rendah yakni hanya mencapai 1,32% secara tahunan, lebih rendah daripada batas bawah target BI sebesar 2%. Defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal ketiga 2020 juga diperkirakan menurun seiring surplus neraca perdagangan yang cukup tinggi.
"BI mungkin masih akan terus memberikan stimulus melalui kebijakan nonsuku bunga untuk sementara waktu, seiring dengan masih adanya tekanan kepada Rupiah. Bila rupiah cenderung mulai stabil, maka ruang untuk melakukan penurunan suku bunga menjadi semakin terbuka," katanya.
BI sebelumnya telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 2% untuk mendorong pemulihan ekonomi lebih cepat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya memperkirakan ekonomi pada kuartal III berpotensi terkontraksi lebih dalam dari prediksi awal yakni minus 2,1% hingga tumbuh 0,2%. Namun, pemerintah masih memproyeksi ekonomi tahun ini akan tumbuh pada kisaran minus 1,1% hingga tumbuh 2% meski kemungkinan berada di batas bawah.
"Kami siapkan kemungkinan ekonomi tumbuh paling rendah atau negatif 1,1% karena ada PSBB seperti yang terjadi di DKI," kata Sri Mulyani.
Proyeksi kontraksi ekonomi yang lebih buruk ini seiring pengetatan kembali pembatasan sosial berskala besar yang dilakukan DKI Jakarta sejak Senin (14/9). OECD dalam laporan terbarunya juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari minus 2,8% menjadi 3,3% meski memproyeksi ekonomi global lebih baik yakni terkontraksi 4,5% dari proyeksi sebelumnya -6%.