KPK Awasi Penyerapan Sisa Anggaran Pemulihan Ekonomi Lebih Rp 400 T
Komisi Pemberantasan Korupsi menyorot potensi korupsi dalam pelaksanaan anggaran pandemi Covid-19 yang mencapai Rp 695.5 triliun di sisa tiga bulan terakhir tahun ini. Penyerapan anggaran tersebut hingga akhir bulan ini baru mencapai 40% sehingga hanya tersisa waktu tiga bulan untuk mengeksekusi dana sebesar Rp 417 triliun.
"Dengan percepatan eksekusi, otomatis penyaluran anggaran akan semakin mudah. Ini perlu diawasi," ujar Alexander dalam sebuah diskusi virtual, Selasa (29/9).
Alexander menjelaskan terdapat empat potensi korupsi pada anggaran penanganan Covid-19 yaitu dalam proses pengadaan barang dan jasa, sumbangan, penganggran, dan penyaluran bantuan sosial.
Dalam proses pengadaan barang dan jasa, modus yang biasa menjadi celah korupsi yakni adanya kolusi dengan penyedia, amrkup harga, kickback, konflik keepntingan dalam pengadaan, kecurangan, serta pembiaran tindak pidana korupsi.
KPK baru-baru ini menemukan dugaan pelanggaran dalam pengadaan barang dan jasa penanganan Covid-19. Beberapa di antara yakni ketidakwajaran harga, kesalahan prosedur, dan administrasi pencatatan.
Selain itu, ada potensi korupsi dari proses sumbangan masyarakat. "Biasanya ini ada sumbangan masyarakat untuk warga terdampak namun ada beberapa oknum yang mengaku bahwa barang tersebut dananya dari APBN atau APBD lalu meminta penggantian," kata dia.
Selanjutnya, potensi korupsi anggaran penanganan pandemi terjadi dalam proses penganggaran. Korupsi biasanya terjadi dalam proses realokasi belanja yang tidak sesuai prosedur, realokasi yang tidak ada dasar atau analisis kebutuhan Covid-19, penyalahgunaan kewenangan, serta benturan kepentingan.
Potensi korupsi rawan pula terjadi dalam penanganan Covid-19 yaitu dalam penyaluran bansos. Hal ini biasanya terjadi akibat pendataan penerima yang tidak transparan hingga tidak divalidasi.
Deputi Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian dan Kemaritiman Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Salamat Simanullang mengaku perlu adanya peningkatan pengawasan PEN terutama oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah. Alasannya, terdapat urgensi serapan belanja penanganan Covid-19 yang belum optimal, pertambahan kasus yang masih relatif tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang terus melambat.
Menurut dia, perlu diselidiki alasan serapan anggaran PEN masih sangat rendah seperti kesehatan yang menjadi fokus krusial di masa ini. "Apa kemungkinan ada masalah di regulasinya, pengadaan jasa, atau pertanggungjawaban ini perlu dicari tau," ujar Salamat dalam kesempatan yang sama.
Salamat menuturkan bahwa terdapat empat tantangan yang saat ini sedang dihadapi program PEN. Pertama, sisa waktu yang tinggal kurang lebih tiga bulan. Kedua, sumber daya yang terbatas.
Ketiga, regulasi belum lengkap dan memadai. Keempat, data dan sistem informasi belum sepenuhnya dapat diandalkan.
Dengan demikian, terdapat beberapa upaya perbaikan yang harus dilakukan yakni percepatan penyerapan per bulan, realokasi sumber daya untuk pelaksanaan program PEN, melengkapi dan menyederhanakan regulasi, serta perbaikan data dan sistem informasi.