Kredit Makin Lesu saat Simpanan Masyarakat di Bank Melesat
Bank Indonesia mencatat pertumbuhan kredit kembali melambat dari 1,04% pada Agustus 2020 menjadi 0,12% pada September 2020. Ini disebabkan oleh permintaan domestik masih lemah dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi Covid-19.
Gubernur Perry Warjiyo mengatakan fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah pada bulan lalu. Pertumbuhan kredit melambat, sementara dana pihak ketiga tumbuh lebih kencang dari 11,64% pada Agustus menjadi 12,88% pada September.
"Intermediasi perbankan ke depan diperkirakan akan membaik sejalan dengan prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik serta konsistensi sinergi kebijakan yang ditempuh," ujar Gubernur BI Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur, Selasa (13/10).
Menurut Perry, kinerja korporasi pada kuartal III 2020 terindikasi membaik, tercermin dari peningkatan penjualan, kemampuan bayar, serta penerimaan perpajakan terutama pada sektor industri dan perdagangan. Restrukturisasi kredit perbankan masih berlanjut ditopang likuiditas yang meningkat.
Hingga 9 Oktober 2020, BI telah menambah likuiditas di perbankan sekitar Rp 667,6 triliun, terutama bersumber dari penurunan giro wajib minimum sekitar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 496,8 triliun. Kondisi likuiditas melonggar ditunjukkan oleh rasio alat likuid terhadap DPK yang mencapai 31,23%, jauh di atas ambang batas 10%.
Rata-rata suku bunga PUAB overnight tercatat rendah hanya sekitar 3,29%, sementara suku bunga deposito dan kredit turun dari masing-masing 5,49% dan 9,92% pada Agustus 2020 menjadi 5,18% dan 9,88% pada September 2020. Imbal hasil SBN 10 tahun juga turun dari 6,93% pada akhir September 2020 menjadi 6,87% per 12 Oktober 2020.
Dengan demikian, Perry menilai ketahanan sistem keuangan tetap kuat. "Meskipun risiko dari meluasnya dampak Covid-19 terhadap stabilitas sistem keuangan terus dicermati," ujarnya.
Rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio perbankan Agustus 2020 tercatat tetap tinggi yakni 23,39%. Sementara rasio kredit bermasalah atau non performing loan tetap rendah yakni 3,22% secara gross dan 1,14% secara neto.
Ekonom Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet menjelaskan. perlambatan kredit melanjutkan trennya selama pandemi. Salah satu penyebab penurunan kredit tersebut akibat adanya pembatasan sosial berskala besar jilid II di Jakarta yang berlaku pada bulan lalu.
Saat PSBB, aktivitas ekonomi berkurang dan memperbesar alasan industri untuk tidak menambah kapasitas produksi untuk sementara waktu. "Sehingga permintaan kredit juga akhirnya ikut melemah," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Selasa (13/10).
Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, jumlah simpanan masyarakat terus meningkat meski penyaluran kredit melambat. "Kalau hitungan kami secara industri, DPK tahun ini bisa tumbuh di atas 8%, padahal kredit maksimal hanya 1,5%," ujar Andry dalam acara Bincang APBN 2021, Selasa (13/10).
Andry menjelaskan, kenaikan DPK terutama terjadi pada simpanan dengan nominal di atas Rp 5 miliar. Pada Januari-Agustus, total simpanan pada kelompok tersebut bertambah Rp 373 miliar. Kenaikan simpanan tersebut lebih tinggi dibandingkan kenaikan pada Januari-Agustus 2019 untuk kelompok simpanan yang sama sebesar Rp 115 miliar.
Penabung dengan nominal jumbo itu terdiri dari nasabah individu dan korporasi. Pertumbuhan simpanan yang kencang dinilai Andry mengindikasikan masyarakat masih memilih untuk menyimpan uangnya ketimbang melakukan aktivitas konsumsi di tengah ketidakpastian akibat pandemi.