Menko Polhukam Lihat Banyak Persoalan Hukum dan Demokrasi di RI
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan, Indonesia masih menghadapi karut-marut penegakan hukum dan demokrasi saat ini. Padahal, masih ada masalah besar yang dihadapi untuk menangani pandemi Covid-19
Sebagai contoh, masih banyak yang kerap memainkan hukum sebagai industri di negeri ini. Hal ini terlihat dari banyaknya pihak yang mencari pasal yang dapat membuat orang salah menjadi bebas.
Sebaliknya, ada pula yang menyalahgunakan pasal-pasal untuk menjerat orang tak bersalah. Selain itu, ada pula fenomena rekayasa bukti yang ada dalam suatu perkara.
"Dihilangkan bukti ini, ditambah bukti itu. Itu industri hukum namanya," kata Mahfud dalam sebuah webinar bertajuk demokrasi di kala pandemi, Jumat (4/9).
Menurut Mahfud, persoalan tersebut harus dapat diatasi dengan pembenahan sistem di Indonesia. Perbaikan juga perlu dimulai dari moral aparat dengan penegakkan sanksi terhadap pihak yang menjadikan hukum sebagai industri.
Selain itu, mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut menyampaikan perjalanan demokrasi RI yang semakin dinamis, namun menjadi tantangan pemerintah.
Dia mencontohkan, setiap kali pemerintah mengumumkan suatu kebijakan, ada saja kelompok tertentu yang tak menyukainya. Namun ketika coba diakomodir, akan pihak lain tak puas. “Sehingga saya katakan, ini demokrasi serba salah,” kata Mahfud.
Oleh sebab itu pemerintah akan tetap pada kebijakan yang diambil, namun dengan menjaga suasana demokrasi. Selain itu demokrasi perlu diimbangi nomokrasi atau kedaulatan hukum agar tidak terjadi kekacauan.
“Karena demokrasi tanpa kedaulatan hukum itu akibatnya dua, yakni bisa chaos atau bisa sewenang-wenang,” kata Mahfud.
Sedangkan Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola menyoroti maraknya fitnah dan hoaks di ruang publik. Di sisi lain kereta demokrasi dikhawatirkan berjalan menuju situasi otoritarianisme dan bertemu pandemi Covid-19.
Hal ini menurutnya berbahaya lantaran kondisi Covid-19 memaksa semua jalur komunikasi berubah menjadi virtual. Selanjutnya, ruang publik menjadi bising dengan kekacauan. “Jadi tidak karuan, itu yang sangat disayangkan,” katanya.