UNESCO Desak Taliban Izinkan Siswa Perempuan Pergi ke Sekolah
Taliban telah membuka sekolah menengah namun khusus untuk siswa dan guru laki-laki di Afganistan. Komite Warisan Dunia (UNESCO) pun mengecam Afghanistan lantaran meninggalkan perempuan di belakang.
Mereka menganggap hal tersebut sebagai pelanggaran penting terhadap hak dasar atas pendidikan bagi anak perempuan. UNESCO pun meminta pihak yang bertanggung jawab untuk membuka kembali sekolah bagi semua siswa, baik laki-laki dan perempuan.
"Kami meminta semua pihak terkait di Afghanistan untuk memastikan semua anak memiliki akses tanpa hambatan ke pendidikan dalam rangka pembukaan kembali sekolah secara bertahap," kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay dalam siaran pers yang dikutip Senin (20/9).
Menurutnya, masa depan Afghanistan tergantung pada anak perempuan dan laki-laki yang berpendidikan. Untuk itu, hak atas pendidikan bagi semua peserta didik, terutama anak perempuan, harus ditegakkan. Begitu pula dengan guru wanita yang harus diizinkan mengajar kembali di sekolah.
UNESCO pun memperingatkan konsekuensinya apabila anak perempuan tidak diizinkan sekolah dengan cepat. Mereka khawatir anak perempuan berisiko tertinggal dalam pendidikan dan aspek lain kehidupan.
Selain risiko putus sekolah, pernikahan anak juga terjadi kepada anak yang tak mendapatkan pendidikan memadai. UNESCO pun berkomitmen untuk memastikan bahwa hak dasar atas pendidikan untuk masing-masing anak terwujud sepenuhnya.
"Ini dapat memperlebar kesenjangan belajar antara anak laki-laki dan perempuan dan menghambat akses anak perempuan ke pendidikan tinggi dan kesempatan hidup,” ujar dia.
Menurut laporan UNESCO yang diterbitkan pada 10 September, Afganistan telah membuat kemajuan yang signifikan dalam pendidikan anak perempuan selama dua puluh tahun terakhir. Sejak 2001, tingkat melek huruf perempuan meningkat hampir dua kali lipat dari 17% menjadi 30%.
Kemudian, jumlah anak perempuan di sekolah dasar meningkat dari hampir nol pada 2001 menjadi 2,5 juta pada 2018. Jumlah anak perempuan di pendidikan tinggi juga meningkat dari sekitar 5.000 pada 2001 menjadi sekitar 90.000 pada 2018.
Persentase guru perempuan juga melonjak dari 27% pada 2007 menjadi 36% pada 2018. Namun, capaian ini akan kembali berisiko jika anak perempuan terlambat masuk kembali ke sekolah.