Sejarawan Kritik Nama Ibu Kota Baru, Bisa Mereduksi Makna Nusantara
Presiden Joko Widodo mewacanakan ibu kota negara dengan nama Nusantara. Namun, sejarawan menyayangkan pemilihan nama tersebut lantaran tidak ada makna baru yang tercipta dari penamaannya.
Sejarawan sekaligus Ketua Asosiasi Sejarah Lintas Batas (Sintas) Andi Achdian mengatakan persoalan terbesar dari penamaan itu ialah pengertian Nusantara yang sudah dipahami masyarakat sebagai wilayah Indonesia yang luas. Kata Nusantara dapat dibayangkan sebagai wilayah kepulauan RI.
"Sayang juga, dengan pemilihan tempat yang baru, tidak ada makna baru yang dibangun dari penamaannya," kata Andi kepada Katadata.co.id, Senin (17/1) malam.
Andi khawatir penamaan ibu kota baru tersebut akan menggeser makna Nusantara. Apalagi pengertian Nusantara di masa lalu mencakup wilayah yang luas, tak terbatas pada nama satu wilayah saja.
Kata 'Nusantara' sendiri berasal dari bahasa Sansekerta. Nusa bermakna kepulauan, sedangkan antara berarti luar. Sejak era Majapahit, kata Nusantara diasosiasikan dengan wilayah Indonesia modern ditambah tetangganya seperti Malaysia, Brunei, Singapura, hingga Thailand bagian selatan.
Andi menilai pemberian nama merupakan sebuah praktik kebudayaan. Nama mewakili gagasan dan konsep saat ini terhadap sesuatu hal yang dianggap penting. "Jadi pertanyaannya, secara kultural mau mewakili apa nama baru tersebut?" tanya Andi yang juga dosen Universitas Nasional tersebut.
Ia juga menilai, pemilihan nama Nusantara bisa menghilangkan identitas budaya asli di daerah setempat. Padahal, setiap wilayah di Indonesia memiliki tradisi dan budaya masing-masing.
Hal serupa juga terjadi pada ibu kota Amerika Serikat, Washington DC yang menghilangkan nama sebelumnya yang diambil dari bangsa Indian. Sedangkan, pemilihan nama yang mewakili Indonesia perlu melibatkan banyak pihak.
"Bukan sekadar namanya, tapi proses penamaan itu perlu lebih terbuka dan jelas. Siapa saja yang dilibatkan, kementerian mana yang terlibat," ujar dia.
Adapun Kepala Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Sri Margana menilai Nusantara merupakan konsep geopolitik yang mencakup wilayah Indonesia secara keseluruhan. "Wilayah yang terdiri unsur darat dan air, kepulauan dan lautan di bawah suatu entitas negara," kata Margana.
Ia menduga pemilihan nama Nusantara untuk menghindari istilah yang hanya fokus pada satu suku tertentu. Sebab, hal ini bisa menimbulkan sentimen promordialisme.
Untuk itu, pemerintah mencari istilah netral yang bisa diterima oleh seluruh suku dan budaya yang berada di Indonesia. "Ibu kota kan milik nasional. Seharusnya bisa mencerminkan kepemilikan bersama itu," ujar dia.
Wawasan Nusantara sudah disepakati secara nasional sebagai cara pandang bangsa terhadap wilayahnya. Saat ini, dunia internasional sudah mengakui wawasan Nusantara yang diterjemahkan dalam Deklarasi Djuanda 1957 dengan istilah Archipelagic State.
"Nama ini terkesan archaic tetapi cukup berakar dalam sejarah dari masa kuno dan masih di-preserve hingga sekarang sebagai istilah yang netral," katanya.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan pemerintah menerima masukan dari para ahli sekitar 80 nama calon Ibu Kota Negara. Dia menyebut, Presiden Jokowi mengerucut memilih nama Nusantara.
“Saya baru mendapatkan konfirmasi dan perintah langsung dari Bapak Presiden itu pada Jumat lalu dan beliau mengatakan ibu kota negara ini namanya Nusantara,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam Rapat Pansus RUU IKN di Jakarta, Senin (17/1).
Sebelum memilih nama Nusantara, pemerintah memanggil ahli sejarah dan ahli bahasa untuk memberikan pengetahuan terkait nama-nama calon Ibu Kota Negara. Nama-nama yang diberikan seperti Negara Jaya, Nusantara Jaya, Nusa Karya, Nusa Jaya, Pertiwi Pura, Wana Pura, dan Cakrawala Pura.
Alasan Jokowi memilih nama Nusantara, kata Suharso, karena nama tersebut telah dikenal oleh masyarakat luas sejak dahulu, baik domestik maupun global, sehingga menjadi ikon bagi Indonesia.
Tak hanya itu, kata dia, pemilihan nama Nusantara juga karena mampu menggambarkan kenusantaraan atau keberagaman Republik Indonesia. "Nusantara mudah dibaca dan menggambarkan kenusantaraan Republik Indonesia," kata dia.