Pemerintah Targetkan RI Jadi Destinasi Investasi Hijau Dunia
Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (KTT PBB) terkait perubahan iklim edisi ke 26 (COP26) digelar di Glasglow, Skotlandia, pada 31 Oktober hingga 12 November 2021. Pemerintah akan menjadikan ajang tersebut sebagai momentum RI menjadi destinasi 'Green Investment' alias investasi hijau.
Hal ini karena Indonesia memiliki potensi besar untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan dan sektor energi serta transportasi sebesar 650 Mton CO2e dan 398 Mton CO2e, jika dibantu oleh pendanaan internasional.
“Perubahan iklim sangat berdampak kepada seluruh masyarakat dunia, sehingga perlu dilakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon," kata Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin dalam keterangan resminya, Minggu (31/10).
COP26 memiliki empat agenda penyempurnaan dari helatan edisi sebelumnya yaitu menekan laju pemanasan global yang disebabkan oleh perubahan iklim. Keempat agenda tersebut adalah menyetujui langkah perubahan komitmen pengurangan emisi, memperkuat adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, pendanaan aksi, serta meningkatkan kerja sama internasional dalam transisi energi.
Masyita berharap negara-negara maju mewujudkan janji mereka memobilisasi setidaknya US$ 100 miliar dalam pendanaan perubahan iklim per tahun pada 2020 kepada negara berkembang dan kurang berkembang. Selain itu investasi swasta juga sangat dibutuhkan lantaran keterbatasan anggaran pemerintah.
“Indonesia memandang COP26 harus menetapkan timeline, indikator, sistem monitoring, bentuk pembiayaan, dan milestone yang jelas untuk memobilisasi pembiayaan global,” ujarnya.
Kemenkeu juga telah melakukan berbagai upaya, di antaranya menginisiasi sistem penganggaran perubahan iklim atau Climate Budget Tagging. Selama 2016-2019, rata-rata realisasi belanja untuk perubahan iklim sebesar Rp 86,7 triliun per tahun. Selain itu alokasi anggaran perubahan iklim di APBN mencapai 4,1% per tahun.
Tidak hanya itu, Indonesia juga telah menggunakan instrumen carbon pricing yang terdiri dari carbon tax dan carbon trading dalam pengendalian perubahan iklim. Salah satunya terwujud dalam pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Pajak karbon dan pasar karbon yang akan dibentuk menjadi satu ekosistem yang dapat mendukung pendanaan perubahan iklim di Indonesia, dengan sistem cap and tax dan cap and trade," ujar Masyita.
Selain itu pemerintah juga tengah merancang Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon yang salah satunya mengatur mekanisme perdagangan karbon. Perpres tersebut akan melengkapi sederetan kebijakan yang digunakan untuk pengendalian perubahan iklim sekaligus sebagai sumber pendanaan.
Masyita lalu berkaca kepada Singapura yang juga akan meluncurkan bursa perdagangan karbon pada akhir 2021. “Penerapan cap-and-tax dan cap-and-trade yang menjadi satu ekosistem pendanaan perubahan iklim, akan menjadi enabling environment bagi pengembangan pendanaan untuk mencapai target Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia," katanya.
Sementara itu, dalam pertemuan bersama Menteri Pasifik dan Lingkungan Hidup Inggris Lord Zac Goldsmith, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa menegaskan komitmen Indonesia untuk implementasi Ekonomi Hijau lewat Low Carbon Development Initiative atau Pembangunan Rendah Karbon (PRK).
Sejak dimulai pada 2017, kerja sama tersebut kini memasuki fase transisi ke tahap kedua yang akan dimulai pada 2022 hingga 2025 dengan target lebih strategis dan berdampak jangka panjang.
"Ini memberikan landasan yang kokoh bagi Indonesia, untuk bergerak menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan melalui berbagai studi seperti food loss and waste, carbon tax, carbon pricing, efisiensi energi, serta keterkaitan antara keanekaragaman hayati dan perubahan iklim,” kata Suharso.
Bappenas bersama konsorsium penelitian dan mitra pembangunan telah mengembangkan laporan 'Perubahan Paradigma Menuju Perekonomian Hijau di Indonesia' dengan beberapa temuan kunci. Beberapa di antaranya adalah pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan dengan tingkat pertumbuhan PDB rata-rata enam persen per tahun, hingga strategi penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 43% pada 2030.