Kekerasan Aparat di Papua Dianggap dapat Ganggu Proyek Infrastruktur

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Foto udara Jalur Trans Papua di ruas jalan Wamena-Habema, Papua, Selasa (9/5).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
9/8/2017, 11.23 WIB

Para aktivis hak asasi manusia mendesak pemerintah mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua.  Pendekatan keamanan yang menimbulkan kekerasan dianggap dapat mengurangi rasa percaya masyarakat terhadap kehadiran negara. Padahal, pemerintah sedang gencar membangun infrastruktur besar-besaran di Papua.

"Pembangunan tidak bisa dilakukan dalam situasi konflik. Maka ke depan pemerintah harus menyelesaikan tidak hanya ketertinggalan (pembangunan), tapi juga konflik ketidakpercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah," kata peneliti Imparsial Niccolo Altar di Gedung HDI Hive, Menteng, Jakarta, Selasa (8/8).

(Baca: Pemerintah Bangun infrastruktur Pangan, Jalan dan Rumah di Papua Barat)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat selama setahun terakhir dari Agustus 2016 hingga Agustus 2017 , sebanyak 16 peristiwa kekerasan di Papua oleh aparat yang menyebabkan 44 korban terluka dan tiga orang tewas.

"Tiga yang lainnya ini meninggal dunia karena penggunaan senjata api," kata Staf Divisi Pembelaan HAM Kontras R Arif Nur Fikri.

Arif mengatakan, kasus-kasus kekerasan di Papua didominasi dilakukan oleh polisi. Kasus tersebut jamak muncul pada isu pembubaran paksa kegiatan berkumpul publik secara damai. "Beberapa senjata yang digunakan aparat kepolisian memang menggunakan model peluru karet. Namun belakangan penggunaan senjata api kerap dipakai tanpa ukuran prosedur yang jelas," kata Arif.

Arif menjelaskan, 16 kekerasan tersebut terjadi di beberapa lokasi, seperti Jayapura, Abeputa, Merauke, Sorong, Manokwari, Boven Digoel, Nabire, Wamena, Kepulauan Yapen, Timika, Puncak Jaya, dan Deiyai.

Kasus teranyar diduga dilakukan aparat di Deiyai, Papua. Anggota Brimob diduga menembak warga yang mendatangi kamp pembangunan jembatan di sekitar Kali Oneiba, Distrik Tigi Selatan, Selasa (1/8).

(Baca: Amnesty Desak Polisi Investigasi Kasus Penembakan di Deiyai Papua)

Berdasarkan kronologi yang didapat dari Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Papua kepada Amnesty International Indonesia, insiden ini diawali dengan peristiwa tidak dibantunya seorang pemuda bernama Kasianus Douw/Doupouga ke RSUD Uwibitu Madi menggunakan mobil PT Dewa Paniai setelah tenggelam ketika sedang mencari ikan di sungai.

Kabar karyawan yang enggan membantu sehingga Kasianus tewas sebelum sampai di RSUD membuat warga geram dan mendatangi kamp pembangunan sehingga terjadi kericuhan.

Anggota Brimob kemudian datang ke lokasi proyek untuk mengusir warga. Namun alih-alih berhassil menghentikan massa, pasukan Brimob diserang oleh para pemuda dengan menggunakan batu, kayu, dan panah.

(Baca: Pakai Motor Trail, Jokowi dan Jenderal Gatot Jajal Trans Papua)

Batu yang dilemparkan oleh pemuda kemudian mengenai anggota Brimob dan membuat anggota menembak warga. Dalam insiden di Deiyai, Kontras menyebut jumlah korban mencapai 13 orang dengan satu orang tewas. Seorang warga yang tewas, Yulianus Pigai, tertembak di bagian paha dan perutnya.

Pengacara publik LBH Jakarta Tommy Albert menilai perlu ada evaluasi terhadap pendekatan keamanan di Papua. Pasalnya, kata Tommy, pendekatan tersebut terbukti tidak efektif mengurai konflik yang ada di Papua. Justru, pendekatan tersebut berpeluang menciptakan konflik baru di tengah masyarakat.

"Penting juga mengevaluasi aparat keamanan, sistem keamanan di Papua secara keseluruhan," kata Tommy.

(Baca: Infrastruktur BBM Satu Harga Bertambah Lagi di Papua)