Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan akan memperketat pengembalian biaya operasi (cost recovery) yang dibayarkan pemerintah ke Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Nantinya, kontraktor minyak dan gas bumi (migas) yang produksinya turun tidak akan mendapatkan cost recovery.
Menurut Jonan, secara bisnis cost recovery sangat terkait dengan produksi. "Kami akan kaitkan cost recovery dengan pencapaian produksi. Kalau produksi turun kita cendrung tidak menyetujui kenaikan cost recovery," kata dia dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, di Jakarta, Selasa (5/6).
Namun, anggota Komisi VII DPR Kardaya Warnika mengingatkan dampak hukum keinginan Jonan tersebut. "Kalau Bapak Menteri mau yang produksi turun tidak di-cost recovery, itu bisa arbitrase," kata dia.
Menurut Kardaya yang harus dievaluasi jika cost recovery membengkak tapi produksi tak tercapai adalah Divisi Perencanaan di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Ini karena merupakan kewenangan mereka.
Dalam lima tahun terakhir, cost recovery paling rendah terjadi di tahun 2017 dengan nilai US$ 11,32 miliar. Sedangkan capaian tertinggi terjadi tahun 2013 lalu, yakni sebesar US$ 15,9 miliar.
Adapun dalam APBN tahun ini, cost recovery dianggarkan US$ 10,39 miliar. Sedangkan realisasinya sejak awal tahun hingga Mei 2018 telah mencapai US$ 4,71 miliar.
Sementara itu pada tahun depan, Kementerian ESDM mengusulkan anggaran cost recovery pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 sebesar US$ 10-11 miliar atau sekitar Rp 152 triliun.
(Baca: Hingga Mei, Lifting Migas Masih Belum Capai Target)
Di sisi lain, hingga 24 Mei 2018, lifting migas hanya 1,895 juta barel setara minyak per hari (bsmph). Padahal targetnya 2 juta bsmph. Sedangkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 sebesar 1.932-2.105 ribu barel setara minyak per hari (bsmph).