Langkah pemerintah memberi opsi bagi investor memilih skema kontrak minyak dan gas bumi (migas), baik gross split maupun cost recovery, dinilai berdampak positif. Lembaga riset dan konsultan global Wood Mackenzie menyebut skema gross split yang mulai pada 2017 telah memangkas birokrasi, meningkatkan efisiensi dan investasi serta menambah produksi minyak dan gas bumi.
Ekonom senior perminyakan Wood Mackenzie Nikita Golubchenko mengatakan skema baru itu sebetulnya cocok untuk kontrak migas pada blok terminasi yang akan habis kontrak. Di saat harga minyak sedang tinggi dan efisiensi biaya yang signifikan, penerapan gross split mendukung untuk wilayah kerja yang akan memperpanjang kontrak.
Investor juga dapat menegosiasikan ulang tambahan split yang diperlukan dengan skema tersebut. "Kami telah melihat perpanjangan proyek seperti di Blok Duyung dan di Blok East Sepinggan sebagai hasilnya." ujar Golubchenko dalam keterangan tertulis, Kamis (17/9).
Namun, ia masih melihat adanya kriteria yang tidak jelas dalam regulasi Indonesia, yaitu adanya diskresi menteri yang dapat mengubah split. Kondisi ini menjadikan skema gross spilt tidak populer, terutama di saat harga minyak sedang anjlok seperti sekarang.
Meskipun dalam kontrak gross split kisaran pembagian pendapatan variabel dan progresif tambahan tersedia, investor tidak melihat keuntungan yang cukup untuk mengimbangi peningkatan risiko proyek serta pengadaan. Karena itu, pemerintah Indonesia menghadirkan kembali kontrak bagi hasil (PSC) cost recovery. Investor menjadi bebas memilih dua skema kontrak migas.
Analis riset Lionel Sumner mengatakan salah satu keuntungan menggunakan kontrak cost recovery adalah kemampuan untuk menawarkan beberapa insentif untuk risiko yang dihadapi terkait dengan pengembangan blok migas di area perbatasan. "Hal ini penting karena dapat mendorong eksplorasi untuk memitigasi penurunan produksi migas di Indonesia, " katanya.
Golubchenko mengatakan Indonesia dapat menawarkan berbagai peluang yang berbeda guna meningkatkan investasi migas. Salah satunya dengan memberikan kebijakan fleksibilitas fiskal yang menarik
Selain itu, Indonesia juga dapat memberikan kebijakan gas yang kuat, birokrasi yang lebih sedikit, dan sistem persetujuan yang lebih fleksibel dan efisien. Pembatasan harga gas domestik, persetujuan di beberapa badan pemerintah dan partisipasi pemerintah daerah dalam proyek-proyek tersebut dianggap menjadi penghalang bagi investor internasional.
Pada 2018 pertumbuhan investasi migas negara ini naik 14,9% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi US$ 12,69 miliar, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini. Investasi migas cenderung menurun sejak 2014 seiring jatuhnya harga minyak mentah dunia hingga di bawah US$ 30/barel.