Petani dan pengusaha di ekosistem industri etanol sepakat belum bisa mendukung program mandatory E10 dalam waktu dekat. Sebab, pemerintah sejauh ini belum serius mengembangkan industri etanol nasional.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia atau Apsendo, Izmirta Rachman menunjukkan kapasitas terpasang industri etanol saat ini hanya 303.325 kiloliter per tahun. Adapun total etanol yang dibutuhkan untuk mendukung E10 ke semua jenis bensin mencapai 3 juta kiloliter, sedangkan ke bensin tanpa subsidi seperti Pertamax sekitar 800.000 kiloliter.
"Sementara itu, kapasitas produksi etanol yang siap memasok kebutuhan bahan bakar hanya 60.000 kiloliter. Sebelum mempertanyakan kesiapan industri etanol, kami masih menunggu kepastian peta jalan pengembangan industri etanol dari pemerintah," kata Izmirta kepada Katadata.co.id, Kamis (9/10).
Untuk diketahui, mandatory E10 adalah program yang mewajibkan produsen bensin untuk mencampurkan 10% etanol dalam produknya. Kebijakan tersebut dijadwalkan terimplementasi pada 2027-2028 di dalam negeri.
Izmirta menjelaskan seluruh fasilitas produksi etanol saat ini dapat dengan mudah meningkatkan kualitasnya agar bisa mendukung program mandatory E10. Sebab, pabrikan hanya perlu menambah kolom distilasi untuk meningkatkan kemurnian etanol domestik.
Namun, Izmirta mengatakan pengusaha etanol masih menahan peningkatan kualitas lantaran pemerintah belum menerbitkan peta jalan pengembagan industri etanol nasional. Adapun salah satu kebijakan yang ditunggu dalam peta jalan tersebut adalah kepastian serapan etanol domestik dalam program mandatory E10.
"Saat ini, produksi E5 dalam bentuk Pertamax Green masih sangat kecil, sehingga teman-teman produsen etanol masih blm tertarik meningkatkan kualitas produknya," ujarnya.
Di sisi lain, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia atau APTRI mendata produksi tebu nasional hanya mencapai sekitar 30 juta ton saat ini. Dengan demikian, rata-rata produksi molases yang menjadi bahan baku etanol pada 2022-2024 hanya sekitar 1,6 juta ton.
Berdasarkan paparan Apsendo, rasio produksi antara molases dan etanol adalah empat banding satu. Karena itu, total kebutuhan molases untuk mendukung program mandatory E10 ke seluruh bensin mencapai 12 juta ton.
Sekretaris Jenderal APTRI, M. Nur Khabsyin menilai implementasi program E10 hanya bisa dilaksanakan saat swasembada gula dipenuhi. Pada saat yang sama, Nur menemukan sebagian petani tebu mulai enggan menanam tebu setelah terganggunya musim giling tahun ini akibat dibukanya keran impor etanol melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 16 Tahun 2025.
"Walaupun aturan tersebut sudah diubah, saat ini petani was-was untuk kembali menanam tebu, memperluas area tanam, maupun meningkatkan produksi," kata Nur kepada Katadata.co.id, Kamis (9/10).
Nur mengatakan peningkatan produksi molases hanya dapat terjadi jika pemerintah memberikan kepastian serapan gula petani lokal. Karena itu, Nur menilai pemerintah harus memperbaiki tata niaga gula impor yang selama ini merugikan petani tebu setiap tahunnya.
Dia menjelaskan harga gula yang dinikmati petani kerap di bawah biaya produksi lantaran gula impor masuk pada periode giling gula. Alhasil, implementasi mandatory E10 dinilai dapat dipenuhi jika pemerintah dapat memastikan serapan gula petani di pasar domestik dengan harga yang baik.
"Keberpihakan pemerintah terhadap petani tebu harus serius, karena etanol ini diolah dari molases," katanya