Pengusaha mengeluhkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Produk Halal. Beberapa ketentuan dalam peraturan tersebut dianggap bisa membebani bisnis.
Ketua Umum Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika (PPAK) Putri K. Wardani mengatakan masih banyak hal yang perlu didiskusikan dari PP Jaminan Produk Halal tersebut. Misalnya tentang angkutan halal.
"Misalnya angkutan halal dan non halal dipisahkan, apakah itu tidak menjadi ongkos tambah?" kata dia kepada katadata.co.id, Jakarta, Senin (28/5).
(Baca: Jokowi: Pengembangan Ekonomi Syariah Indonesia Masih Tertinggal Jauh)
Namun, PPAK menyatakan pihaknya tetap mendukung kebijakan pemerintah. Sejauh ini, sebagian besar kosmetik domestik sudah bersertifikasi halal, seperti Wardah, Mazaya, Make Over, Zoya, dan BLP Beauty.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menyebut PP tentang Jaminan Produk Halal akan semakin menekan dunia usaha. Salah satu ketentuan yang dikritik yaitu tentang kewajiban sertifikasi halal.
Ia menjelaskan, yang terkena dampak paling besar terkait kewajiban sertifikasi adalah Usaha Kecil Menengah (UKM), yang bergerak di bidang makanan dan minuman. "Respons di UKM ini lumayan keras karena biaya audit yang lumayan besar," kata dia.
(Baca: Biaya Sertifikasi Mahal, Pengusaha Keberatan PP Jaminan Produk Halal)
Berdasarkan informasi yang ia terima dari pengusaha, sertifikasi membutuhkan biaya Rp 10 juta. Meskipun, biaya sertifikasi halal belum ditetapkan. Ketentuan ini akan diatur dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Selain biaya yang mahal, kewajiban sertifikasi halal dikritik lantaran sertifikat harus diperpanjang setiap empat tahun sekali. Maka itu, pengusaha berencana mengajukan gugatan atas ketentuan perpanjangan sertifikat halal ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Padahal barangnya sama saja, kecuali kalau produk baru. Ini harus diantisipasi agar tidak menjadi komersil sertifikasi halal," ujarnya.