Pemerintah kembali bakal menyuarakan mengenai isu diskriminasi sawit dalam Perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) putaran ke empat yang akan dilaksanakan pada 19-23 Februari 2018 di Surakarta, Jawa Tengah. Isu tersebut rencananya akan dibahas dalam sebuah sesi khusus terkait isu keberlanjutan dan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO).
Penyelesaian isu hambatan yang dihadapi oleh produk CPO Indonesia di pasar Uni Eropa menjadi salah satu kasus yang tengah menjadi sorotan, seiring dengan adanya keputusan dari Parlemen Eropa tertanggal 17 Januari 2018 terkait peningkatan penggunaan renewable energy menjadi 35% pada tahun 2030 serta penerapan batas akhir penggunaan biodiesel yang berasal dari minyak sawit pada 2021.
(Baca : Resolusi Sawit Uni Eropa Mengecewakan, Pemerintah Bakal Lapor ke WTO)
Keputusan dari Parlemen Eropa tersebut cukup disayangkan oleh pihak pemerintah Indonesia. Pasalnya keputusan itu dinilai bersifat diskriminatif dengan membedakan kontribusi minyak sawit pada produk biofuels dengan kontribusi minyak berbahan dasar tanaman lain.
“Putaran ke empat ini sangat penting untuk mendorong perundingan memasuki tahapan substansial, baik untuk perundingan akses pasar khususnya perdagangan barang dan jasa, maupun perundingan teks,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo dalam keterangan resmi dari Surakarta, Senin (19/2).
Perundingan ini merupakan kelanjutan Putaran ke tiga yang dilaksanakan pada September 2017 di Brussels, Belgia. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Iman beserta wakil berbagai instansi pemerintah yang berwenang atas isu-isu yang dirundingkan. Sedangkan juru runding pihak Uni Eropa akan diwakilkan oleh Helena König yang bertindak sebagai Director for Asia and Latin Amerika, Directorate General for Trade, European Commission.
(Baca: Uni Eropa Ingin Indonesia Impor Lebih Banyak Barang Modal)
Perundingan di Surakarta juga mencakup semua isu runding yang telah disepakati, termasuk perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, hak kekayaan intelektual, persaingan usaha, perdagangan dan pembangunan berkelanjutan, UMKM, perdagangan barang dan jasa pemerintah, karantina, aturan standar, mekanisme penyelesaian sengketa, serta kerja sama dan pengembangan kapasitas.
Selain itu, IE-CEPA juga bakal menjadi perundingan yang ambisius yang dilakukan Indonesia, karena kedua pihak menargetkan akan mengeliminasi tarif bea masuk dengan lebih dari 90% pos tarif guna merealisasikan perjanjian yang modern, komprehesif dan saling menguntungkan untuk memasuki pasar ketiga. " Jelas, peningkatan ekspor dan investasi Uni Eropa berikut barang dan jasa yang diperlukan, untuk investasi itu merupakan target utama kita,” jelas Iman.
Penyelenggaraan perundingan IE- CEPA juga sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo sebelumnya yang menetapkan perundingan tersebut sebagai salah satu prioritas untuk dirampungkan tahun ini. Selain isu substansi perundingan, jangka waktu penyelesaian dan implementasi perundingan turut diperhatikan.
“Penyelesaian perundingan perlu diakselerasi untuk mencegah beralihnya pangsa pasar Indonesia di Eropa ke negara pesaing yang telah memiliki perjanjian dagang dengan Uni Eropa, Namun target penyelesaian yang cepat seyogyanya tidak mengorbankan kepentingan Indonesia dan kualitas perjanjian itu sendiri," tutur Iman.
Indonesia saat ini memang sedikit tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Vietnam yang sudah lebih dulu memiliki Free Trade Agreement (FTA) dengan Uni-Eropa
Perundingan dengan Singapura mulai dilakukan pada tahun 2010 dan disepakati pada tahun 2014, sedangkan perundingan dengan Vietnam telah dilakukan pada tahun 2012 dan disepakati pada 2016.
Namun, sampai saat ini kedua perundingan tersebut belum berlaku sebab Singapura masih menunggu proses ratifikasi, sedangkan Vietnam sudah mencapai proses penandatanganan. Perjanjian Uni-Eropa dengan kedua negara tersebut bersifat komprehensif dan mencakup isu perundingan yang sama dengan IE-CEPA.
Data Kementerian Perdagangan menunjukan kawasan Uni-Eropa saat ini masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar ke enam dengan nilai perdagangan sebesar US$ 16,2 miliar dan negara eksportir terbesar ke Indonesia dengan nilai sebesar US$ 11,2 miliar. Selama lima tahun terakhir, neraca perdagangan kedua segmen tersebut menunjukkan surplus bagi Indonesia, sedangkan nilai investasi Uni-Eropa di Indonesia baru mencapai nilai US$ 2,8 miliar.