Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memprediksikan pertumbuhan penjualan retail masih lesu pada semester kedua 2017. Puncak konsumsi yang biasa terjadi pada momen tahun baru, libur sekolah, dan lebaran telah berakhir, sehingga sulit bagi peritel mendongkrak penjualan.
"Puncak orang belanja ada di semester pertama yang ada puasa dan lebaran. Tidak pernah kami melihat data historis, di luar puncak konsumsi, pertumbuhan penjualan akan lebih bagus," kata Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta di Jakarta, Rabu (9/8).
Berdasarkan data Aprindo, realisasi tingkat penjualan retail semester pertama 2017 hanya 3,7%. Pertumbuhan ini sangat kecil dibandingkan rata-rata penjualan ritel beberapa tahun ke belakang dengan rentang 10-14 %.
(Baca juga: Survei BI: Penjualan Retail Diprediksi Makin Lesu Setelah Lebaran)
Tutum mengatakan masih terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan peritel untuk bisa meningkatkan angka pertumbuhan penjualan. Hal ini dilakukan dengan memberikan promo dan diskon di hari-hari besar, seperti hari kemerdekaan Indonesia. Tutum memprediksi, langkah tersebut bisa meningkatkan penjualan retail hingga 7-8%.
"Perkirakan kemungkinan mendekati 7 sampai 8%. Itu sudah baik," kata Tutum.
Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu memberi stimulus berupa kebijakan yang tepat menyasar pelaku usaha retail. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya menilai stimulus dari pemerintah mampu mendorong tingkat penjualan retail dapat kembali meningkat. "Kalau bisa ada kegiatan, stimulus yang lebih spesifik," kata Berly.
(Baca juga: Tak Menguntungkan, Dua Gerai Hypermart Ditutup)
Aprindo pernah menyebutkan tiga alasan merosotnya penjualan retail sehingga berbagai pusat perbelanjaan sepi pembeli. Ketiganya adalah perubahan perilaku konsumen, minimnya lapangan kerja dan kehadiran toko online.
"Itu yang membuat sektor industri retail ini ada penurunan dalam dua tahun terakhir," ujar Ketua Umum Aprindo Roy N. Mandey saat ditemui di Auditorium Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (17/7).
Kedua, jumlah populasi yang baru memasuki usia kerja lebih besar ketimbang lapangan kerja formal yang tersedia. Dengan demikian, warga berusia produktif ini tidak mendapatkan pendapatan yang cukup untuk berbelanja dalam jumlah besar.
(Baca: Penjualan Indomaret dan Sari Roti Tumbuh Melambat, KFC Tetap Stabil)
Terakhir, Roy mengakui keberadaan toko online sebagai penggerus penjualan toko fisik. Roy menjelaskan, toko online merupakan salah satu alternatif perbelanjaan yang cukup berkembang pesat belakangan ini.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual pernah mengatakan penyebab lemahnya kinerja penjualan perusahaan retail konvensional lebih dari sekadar pergeseran pola belanja masyarakat ke online.
Apalagi, data penjualan juga menurun untuk barang tahan lama (durable goods) seperti motor dan mobil, demikian juga penjualan semen dan listrik.
Ia menduga lemahnya penjualan memang terkait daya beli. Namun, “Sulit untuk mengetahui persoalannya kenapa (daya beli terganggu), (apakah) karena kebijakan pemerintah, faktor pajak, politik keamanan. Harus tanya ke konsumen,” ucapnya.