Nasib Merana Pegawai Hingga Tukang Parkir 7-Eleven Jelang Kebangkrutan

Arief Kamaludin|KATADATA
Gerai Sevel di Kawasan Mampang Prapatan, Jakarta, Jumat, (23/06)
Penulis: Michael Reily
Editor: Pingit Aria
23/6/2017, 17.27 WIB

PT Modern Internasional Tbk telah mengumumkan rencana penutupan gerai 7-Eleven per 30 Juni 2017 mendatang. Namun, saat ini pun telah banyak gerai 7-Eleven yang berhenti beroperasi. Salah satu yang masih buka adalah gerainya yang berada di Matraman, Jakarta Pusat.

Gerai ini cukup spesial karena berada tepat di depan kantor pusat perusahaan induknya, yakni PT Modern Internasional. Saat Katadata ke sana, Jumat (23/6) siang, kondisinya benar-benar sepi. Tak ada pengunjung lain di sana, hanya ada dua orang pegawai di meja kasir dan seorang manajer mengawasinya.

Ini adalah hari kerja terakhir mereka. "Besok sudah tutup," kata seorang pegawai itu.

(Baca juga:  Berjaya 6 Tahun, Kinerja Perusahaan 7-Eleven Meredup Sejak 2015)

Tak banyak lagi yang bisa dibeli di gerai itu. Dari 7 lemari pendingin yang ada, hanya 2 yang masih berfungsi. Beberapa minuman bersoda dan varian teh ada di sana. Salah satu minuman andalan 7-Eleven, Big Gulp, juga tidak lagi tersedia. Deretan rak yang biasanya memuat berbagai jenis makanan ringan sudah kosong. Rokok pun tak ada.

Sementara orang lain sedang sibuk menyiapkan Lebaran di kampung halaman, pegawai ini pusing memikirkan masa depan. Ia belum mendapatkan pekerjaan pengganti. "Belum tahu," ujarnya. Sang manajer melarangnya bicara banyak pada pengunjung.

Gerai 7-Eleven di Pinang Ranti telah tutup lebih dulu, dua hari lalu. "Sudah bangkrut," kata Kodir, tukang parkir di sana. Meski tak bekerja langsung sebagai pegawainya, Kodir pernah turut menikmati masa jaya 7-Eleven.

(Baca juga: Batal Diakuisisi Charoen, Semua Gerai 7-Eleven Tutup Akhir Bulan Ini)

Dua-tiga tahun lalu, saat 7-Eleven ramai penunjung, ia bisa mendapat upah parkir hingga Rp 100 ribu sehari. Sejak Maret 2017 lalu, menurutnya pengunjung sudah jauh berkurang. "Paling dapat Rp 20 ribu sehari," katanya. Ia makin pusing memikirkan nasibnya kini, setelah gerai itu tak buka lagi.

Corporate Secretary PT Modern Putra Indonesia, Tina Novita menyebut penjualan 7-Eleven mulai merosot saat pemerintah melarang minimarket menjual bir pada 16 April 2015 lalu. Larangan itu tertuang dalam Peraturan menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

"Saat minuman beralkohol itu dilarang, penjualannya berkurang. Lalu orang-orang yang membeli snack seperti kacang-kacangan menurun," katanya.

(Baca juga: Batal Diakuisisi Charoen Pokphand, Saham Induk 7-Eleven Anjlok 12%)

Namun, itu bukan penyebab tunggal kejatuhan 7-Eleven. Marketing Manager AT&T Mahdi Rinaldi menyebut 7-Eleven di Indonesia memang tidak efisien. Menurutnya, konsep 7-Eleven di Indonesia berbeda dengan yang ada di Malaysia, Singapura, Hongkong, Filipina, bahkan di negara asalnya, Jepang.

"Di luar (negeri), 7-Eleven itu seperti warung biasa saja, kadang tidak menggunakan pendingin ruangan, nyempil di sela toko lain dan tanpa meja kursi," ujarnya.

Dengan kondisi minimalis itu, mereka fokus menjual produk dan makanan dari kulkas, pelanggan yang berbelanja pun tak perlu nongkrong belama-lama. Sementara di Jakarta, 7-Eleven umumnya menempati bangunan yang cukup besar, bahkan dua lantai yang terang-benderang, lengkap dengan pendingin ruangan, hingga jaringan Wifi.

"Itu semuanya cost, cost dan cost yang musti dibebankan ke harga produk hingga menjadi mahal biaya produksinya," katanya.

Reporter: Michael Reily