PT Modern Internasional Tbk akan menutup semua gerai 7-Eleven per 30 Juni mendatang. Padahal, gerai convenience store ini pernah menjadi tempat nongkrong favorit anak muda sejak waralaba asal Dallas, Amerika Serikat (AS), ini masuk ke Indonesia tahun 2009. Namun, sejak dua tahun terakhir kinerja Modern tergerus oleh meredupnya pamor 7-Eleven.
"Kami bermaksud menginformasikan bahwa per tanggal 30 Juni 2017, seluruh gerai 7-Eleven di bawah manajemen PT Modern Sevel Indonesia yang merupakan salah satu anak perseroan akan menghentikan kegiatan operasionalnya," kata Direktur PT Modern International Tbk, Chandra Wijaya dalam surat keterbukaan informasinya ke Bursa Efek Indonesia (BEI), 22 Juni 2017, kemarin.
7-Eleven sejatinya merupakan pemain baru di bisnis minimarket Indonesia. Modern International baru meneken Letter of Intent master franchise gerai 7-Eleven di Dallas tahun 2008. Setahun kemudian, gerai pertama 7-Eleven dibuka di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan.
(Baca juga: Batal Diakuisisi Charoen, Semua Gerai 7-Eleven Tutup Akhir Bulan Ini)
Tampilan fisik dan dagangan 7-Eleven memang berciri minimarket. Namun, untuk dapat buka 24 jam, mereka harus menggunakan izin restoran. Manajemen pun kemudian menambahkan makanan cepat saji, lengkap dengan meja dan kursi untuk menikmatinya.
Konsep tersebut rupanya cukup diterima masyarakat, hingga pada masa jayanya, 7-Eleven dapat membuka 30-60 gerai baru di Jakarta. Jika pada tahun 2011, hanya ada 50-an gerai 7-Eleven. Tahun 2012, jumlahnya bertambah hampir dua kali lipat.
Sampai awal 2014, jumlah gerai 7-Eleven di Jakarta mencapai 190 dan bertambah 40 unit lagi hingga akhir tahun. Penjualan bersih 4-Eleven pun naik 24,5 persen menjadi Rp 971,7 miliar dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 778,3 miliar. Tahun itu bisa disebut sebagai masa keemasan 7-Eleven.
(Baca juga: Batal Diakuisisi Charoen Pokphand, Saham Induk 7-Eleven Anjlok 12%)
Hanya enam tahun bertumbuh, kinerja bisnis 7-Eleven mulai menurun pada 2015. Saat itu, penjualan bersih 7-Eleven tercatat sebesar Rp 886,84 miliar. Untuk pertama kalinya 7-Eleven menutup 20 gerai miliknya. Sementara gerai baru yang dibuka hanya 18 unit, angka penambahan gerai terkecil sejak 2011.
Manajemen pun mencoba berkreasi dengan mengembangkan gerai yang tak hanya mengandalkan penjualan barang tapi juga jasa. Mereka mengembangkan konsep kios digital di gerai-gerai 7-Eleven yang melayani pembelian pulsa, tiket konser hingga tiket perjalananan.
Pukulan kemudian datang saat pada 16 April 2015, minimarket dilarang menjual bir. Larangan itu tertuang dalam Peraturan menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
"Saat minuman beralkohol itu dilarang, penjualannya berkurang. Lalu orang-orang yang membeli snack seperti kacang-kacangan menurun," kata Corporate Secretary PT Modern Putra Indonesia, Tina Novita.
Kondisi tersebut langsung memukul kinerja Modern. Pada akhir 2015, meski masih mampu mencetak penjualan Rp 1,23 triliun, perusahaan untuk pertama kalinya setelah bersalin nama tahun 2007 menderita rugi bersih Rp 54,77 miliar.
Hal tersebut berlanjut di tahun berikutnya. Pada 2016, kerugian perusahaan makin membengkak menjadi Rp 638,72 miliar. Tanda-tanda kemerosotan 7-Eleven makin nyata. Pengunjungnya terus berkurang hingga pada akhir 2016 manajemen 7-Eleven mengumumkan penutupan 25 gerai.
(Baca juga: Charoen Pokphand Akuisisi 7-Eleven Senilai Rp 1 Triliun)
Tahun ini, kondisinya pun semakin parah. Selama tiga bulan pertama tahun ini, Modern Internasional sudah menderita kerugian bersih Rp 447,93 miliar. Tak heran, perusahaan terus melakukan efisiensi dengan menutup 30 gerai 7-Eleven, sebelum membuat keputusan final: menghentikan operasional seluruh gerai yang tersisa pada 30 Juni mendatang.