TAMPILANNYA sama sekali tak mencolok. Tak ada plang nama ?Larici? yang memberinya tanda tempat toko sepatu itu berada. Di dinding depan atas toko itu bahkan terpampang tulisan ?Pet Shop?, yang menawarkan berbagai produk kebutuhan hewan peliharaan.
?Berat sekali (jika pasang papan nama),? ujar Yati, orang kepercayaan Elli Farida Afni, pemilik toko sepatu Larici. ?Pajak yang harus dibayarkan di sini mahal sekali.?
Terletak di Jl. Ampera Raya No. 15B, Kemang, urusan pajak reklame memang bisa bikin pusing kepala. Maklum, area ini tergolong kawasan elite di selatan Jakarta, tempat yang banyak dihuni kaum ekspatriat dan ramai dikunjungi para wisatawan asing.
Meski begitu, tempat ini telah menjadi sumber nafkah bagi keluarga Elli selama lebih dari dua dekade. Sebab, di tempat inilah Elli (kini 53 tahun) dan mendiang suaminya, Iwan, sejak awal 1990-an merintis bisnis sepatu buatan tangan dari kulit asli. Salah satu andalannya, yaitu sepatu boots kulit. Mereknya Larici.
Bagi para pemburu sepatu kulit?khususnya boots?yang tidak mengutamakan soal merek, Larici bisa menjadi alternatif. Bahan bakunya dijamin kulit asli. ?Makanya tidak mengelupas,? kata Elli. Selain itu, meski handmade, kerapian dan kenyamanannya tak kalah oleh sepatu-sepatu bermerek buatan pabrik alias branded.
Yang membuatnya istimewa, ukuran sepatu bisa dipesan sesuka hati pembeli: baik model, warna, maupun ukuran yang benar-benar sesuai kaki. Kelebihan lainnya, terletak pada layanan purna jual?sesuatu yang tak mungkin didapat lewat pembelian di mal.
Elli dengan ramah menjelaskan kepada para pembeli bagaimana cara perawatan kulit sepatu produknya agar tak mudah rusak. Kalau pun telanjur rusak atau aus, tapi si empunya masih sayang dengan sepatu miliknya?atau karena mau berhemat?sepatu bisa dibawa kembali ke toko Larici untuk diperbaiki.
Di luar itu semua, yang membuat Larici layak dilirik, karena harganya yang super miring. Dengan kualitas yang sama untuk sepatu di pusat-pusat perbelanjaan modern, harga sepatu Larici bisa hanya separuhnya.
Tentang ini, Elli membuka rahasianya. Salah satunya, karena bisnisnya yang tergolong Usaha Kecil-Menengah (UKM) ini memanfaatkan bahan-bahan baku kulit tak lolos sortir.
?Perusahaan besar kan tidak mau barang reject,? kata perempuan asal Padang ini. Sedangkan Larici yang berbasis home-industry, bisa tetap memanfaatkannya. ?Bagian yang cacat, kami buang. Tapi, yang selebihnya kan bisa dipergunakan,? ujarnya. ?Jadi, produk kami murah, bukan karena kulitnya jelek.?
Soal pengeluaran biaya dan keuangan, Elli memang sangat hati-hati. Ia tak mau mengulang kisah pahit yang dialami oleh mendiang suaminya, yang sempat terbelit utang. Gara-gara beban utang itu, usaha sepatu yang dirintis sejak awal 1990-an ini sempat tak berproduksi selama tiga tahun. Baru pada 2007, toko sepatu ini kembali berproduksi.
Tapi, ujian lagi-lagi datang. Pada suatu siang di akhir September 2010, sebuah bentrokan berdarah antarkelompok suku Ambon dan Flores, tanpa dinyana pecah tepat di area toko ini di ruas jalan Ampera yang sibuk.
?Bahkan salah satunya mati ditembak dan digorok di dalam toko ini,? kata Yati mengisahkan kembali peristiwa mengerikan itu. ?Untungnya, toko ini tidak dirusak dan tetap selamat.?
Bisnis Sepatu UKM (Bagian 2) : Dari Badai Krismon Hingga Tragedi Ampera