KATADATA ? PT Kimia Farma Tbk mengaku tidak terpengaruh dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Perseroan sudah menyiapkan strategi untuk mengantisipasi kenaikan biaya produksi akibat kenaikan tarif listrik tersebut.
Direktur Utama Kimia Farma Rusdi Rosman mengakui ada kenaikan biaya produksi dengan naiknya tarif listrik. Namun, dia tidak bisa mengatakan berapa besar kenaikannya. Untuk mengatasi kenaikan biaya tersebut, perseroan akan melakukan subsidi silang antara kenaikan biaya listrik dengan efisiensi di sektor jasa pelayanan kesehatan.
Tahun ini perseroan memang sedang mengembangkan jasa layanan kesehatan dengan konsep one stop healthcare solutions dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Untuk JKN ini, perseroan menargetkan tambahan laba sekitar Rp 49,77 miliar. Sementara potensi efisiensi biaya kesehatan dengan adanya JKN mencapai Rp 10,49 miliar.
?Subsidinya listrik, dari jasanya. Jadi subsidi silang. Ada pengaruhnya (kenaikan biaya listrik) dari biaya produksi, tapi kecil,? ujar Rusdi saat penandatangan kerjasama pembangunan pabrik baru dengan PT Garam (Persero) di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Selasa (22/4).
Karena ada subsidi silang tersebut, kenaikan biaya produksi akibat kenaikan biaya listrik dirasa cukup kecil dan tidak terlalu berdampak pada target penjualan dan laba. Perseroan yakin dengan pertumbuhan pasar farmasi setiap tahunnya sebesar 13 persen, pertumbuhan penjualan Kimia Farma bisa tumbuh lebih tinggi, yaitu 18,45 persen.
Tahun ini Kimia Farma menargetkan penjualan sebesar Rp 5,15 trliun. Meskipun ada kenaikan tarif listrik, ?kami tetap dengan target awal penjualan Rp 5 triliun. Target laba bersihnya Rp 231,9 miliar. Masih optimis sesuai rencana,? kata Rusdi.
Dari sisi produksi pun, Rusdi mengaku tidak akan menurunkan volume produksi tahun ini. ?Produksi juga akan tetap sesuai target,? ujarnya, tanpa menyebut berapa besar target produksi tahun ini.
Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi memang masih berkeberatan dengan kenaikan tarif listrik tahun ini. Asosiasi pengusaha obat ini sepakat dengan usulan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dengan kenaikan bertahap selama tiga tahun, bukan satu tahun sebagaimana diputuskan pemerintah.
Direktur Eksekutif GP Farmasi Dorojatun Sanusi mengatakan, pihaknya belum menghitung berapa besar pengaruh kenaikan tarif listrik terhadap industri farmasi. Menurutnya, banyak perusahaan farmasi yang pabriknya berada tidak dalam satu lokasi, sedangkan konsumsi listrik setiap pabrik berbeda. Ada yang masuk dalam kategori I-3 atau masuk dalam kategori industri lainnya.
"Secara rata-rata, biaya listrik bisa menyumbang 5 persen terhadap biaya produksi," ujar Dorojatun kepada Katadata, Selasa (22/4).