Studi Yayasan Inisiatif Dagang Hijau dan Enveritas mengungkapkan, 90% hasil kopi petani di Indonesia dibeli oleh para pengumpul. Tercatat, saat ini ada lebih dari 4.000 pengumpul yang dinilai berperan penting mendukung rantai pasok kopi berkelanjutan lantaran mampu mengantarkan produk petani ke pasar.
Jumlah petani kopi yang tersebar di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai angka 1,34 juta orang. Petani kecil ini menghasilkan 99% produksi komoditas kopi.
Tren ertumbuhan produksi kopi sekitar 5,7% per tahun, yang mana terjadi peningkatan produksi di Sumatera terutama untuk jenis kopi robusta. Sedangkan di daerah lain, produksi cenderung stabil atau menurun.
Studi yang dilakukan di empat negara penghasil kopi yakni Indonesia, Vietnam, Uganda, dan Kolombia dari 2018 hingga 2020 ini pun memotret kemiripan peran para pengumpul.
Khusus di Indonesia, studi ini mengungkap adanya tiga jenis pengumpul, yaitu di tingkat desa, tingkat kabupaten/kota, dan agen. Ketiganya memberikan layanan yang serupa kepada petani, antara lain berupa pemberian pinjaman, penyediaan pupuk dan benih berkualitas, serta melakukan pelatihan.
Ketua Pengurus Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH), Fitrian Ardiansyah mengatakan, studi ini menunjukkan potensi nyata yang bisa digunakan untuk perbaikan tata kelola rantai pasok kopi Indonesia.
"Kami berharap semua pemangku kepentingan dapat melihat peran strategis dari pelaku aktif perkopian di lapangan, termasuk kelompok pengumpul, untuk menjamin keberlanjutan rantai pasok dan menguntungkan semua pihak,” kata dikutip dari keterangan resmi, Kamis (13/4).
Kopi merupakan salah satu komoditas Tanah Air yang sangat menjanjikan baik di pasar domestik maupun internasional. Sebanyak 99% produksi kopi Indonesia oleh kelompok petani kecil menghasilkan panen kopi jenis robusta dan arabika.
Namun produktivitas komoditas kopi Indonesia masih di bawah Vietnam. Baik pengumopul maupun petani kopi saat ini menghadapi tantangan berupa turunnya harga komoditas kopi akibat pandemi global.
Alhasil, akses produk kopi ke beberapa pasar pun tergaggu karena pembatasan transportasi dan ikut berimbas pada menurunnya ekspor ke luar negeri. Adapun penurunan harga kopi arabika Indonesia saat ini juga disebabkan banyaknya pembatalan pesanan.
Ini tak lain karena banyak kedai kopi yang tutup atau jam operasionalnya dibatasi selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlaku.
Direktur Eksekutif Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI)Paramita Mentari Kesuma mengatakan, di Indonesia, pengumpul tidak hanya terlibat dalam jual-beli kopi dengan petani, tetapi juga mendukung akses agri-input, akses finansial dan sebagainya.
Jika terjadi kolaborasi efektif dan adaptif antara pengumpul, petani kopi dan aktor lain dalam rantai pasok kopi di tengah pandemi saat ini, diharapkan stabilitas pasar kopi Indonesia bisa terjaga.
"Serta mendorong ekosistem bisnis kopi yang berkelanjutan,”katanya.
Sementara itu, Pemimpin Operasional Enveritas Wilayah Asia Senthil Nathan mengatakan, para pengumpul ikut membangun kesejahteraan petani karena hubungan yang saling membutuhkan satu sama lain. Untuk memperbaiki penjualan kopi harus ra dilakukan reformasi bisnis.
Beberapa yang harus diubah yakni menciptakan akses pasar yang lebih modern menggunakan teknologi, memberikan akses terhadap pinjaman, melakukan pelatihan bisnis dan menciptakan sistem transportasi yang lebih efektif.
"Menandakan tingkat kualitas kopi petani dan memperluas jenis layanan para pengumpul di luar sebagai pembeli,” ujarnya.
Dampak Corona
Adapun pandemi corona yang melanda di hampir seluruh negara berdampak pada penurunan harga kopi dunia. Tercatat sejak Juni hingga saat ini harga biji kopi di hanya dipatok sebesar US$ 2,2 per kilogram (Kg) atau setara Rp 32.000.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo mengatakan, sejak tahun 2010 harga kopi terus menurun dari yang sebelumnya mencapai US$ 4,68 per kg atau setara Rp 68.000. Tak lama setelah ada pandemi, harga kopi pun anjlok hingga di bawah US$ 2,5 per atau sekitar Rp 36.000 per kg.
"Harga kopi terus menurun hingga sekarang," kata Iman dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu (5/8).
Hal itu menurutnya disebabkan terganggunya rantai pasok dan permintaan kopi akibat kebijakan karantina wilayah (lockdown) yang diterapkan berbagai negara.