Toko Buku Gunung Agung akan menutup seluruh cabangnya pada akhir 2023 setelah terus mengalami kerugian yang semakin besar. Saat ini, Toko Buku Gunung Agung sudah menutup sebagian gerai di sejumlah kota yaitu di Jakarta, Bogor, Karawang, Semarang, Gresik, dan Surabaya.
"Untuk yang masih operasional lima cabang, " tulis keterangan tertulis manajemen yang diterima Katadata.co.id Minggu (21/5).
Dalam keterangan tersebut, manajemen menyebutkan bahwa Toko Buku Gunung Agung terus mengalami kerugian yang semakin besar sejak pandemi Covid-19. Mereka sudah berupaya melakukan efisiensi, namun kerugian semakin besar sehingga memutuskan untuk menutup seluruh tokonya.
Terdapat sejumlah alasan mengapa Toko Buku Gunung Agung terus mengalami kerugian. Salah satunya adalah jumlah pembaca fisik yang terus menurun.
"Pembaca buku fisik terus turun salah satu faktor yang mengakibatkan toko buku sulit berkembang," tulis manajemen.
Toko buku yang tutup tidak hanya dialami Gunung Agung. Sebelumnya sudah banyak toko buku yang harus gulung tikar, seperti Books and Beyond dan Togamas cabang Solo.
Penyebab Banyak Toko Buku Gulung Tikar
Pakar Pemasaran dan Perilaku Konsumen dari Universitas Indonesia, Sri Rahayu Hijrah Hati, mengatakan terdapat lima penyebab banyaknya toko buku yang sepi hingga gulung tikar. Hal itu dipengaruhi perubahan perilaku konsumen di era digital.
Lima penyebab banyak toko buku tutup adalah:
1. Beralih ke format digital
Sri Rahayu mengatakan, saat ini terjadi pergeseran perilaku konsumen yang signifikan dengan munculnya e-book dan platform online untuk membeli serta membaca buku. Masyarakat banyak yang lebih memilih kenyamanan mengunduh atau membaca buku melalui perangkat elektronik.
"Pergeseran ini telah mengakibatkan penurunan permintaan terhadap buku fisik dan penurunan penjualan untuk toko buku offline," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (22/5).
2. Persaingan dengan toko ritel daring
Toko buku online atau daring seperti Amazon, Tokopedia, dan Shopee menawarkan beragam pilihan buku dengan harga yang kompetitif. Mereka juga memiliki kelebihan dapat langsung mengirim buku ke rumah.
Sri Rahayu mengatakan, platform daring ini telah populer di kalangan konsumen karena memiliki katalog yang luas, ulasan pengguna, dan rekomendasi personalisasi.
"Toko buku offline menghadapi kesulitan dalam bersaing dengan kemudahan dan harga lebih rendah yang ditawarkan oleh pengecer online," ujarnya.
3. Biaya sewa dan operasional yang meningkat
Menurut Sri Rahayu, mengoperasikan toko fisik melibatkan berbagai biaya, termasuk sewa, utilitas, dan gaji karyawan. Dalam beberapa tahun terakhir, biaya sewa di daerah komersial mengalami peningkatan yang signifikan pada sejumlah kota di Indonesia.
"Kenaikan biaya ini, ditambah dengan penurunan penjualan, memberikan tekanan keuangan pada toko buku offline, sehingga sulit bagi mereka untuk mempertahankan bisnis mereka," ujarnya.
4. Perubahan kebiasaan membaca
Generasi muda saat ini semakin terlibat dengan konten digital dan menghabiskan lebih banyak waktu di smartphone, tablet, serta komputer. Media sosial, berita daring, dan platform hiburan telah menjadi lebih dominan dibandingkan buku dan majalah.
Menurut Sri Rahayu, kondisi tersebut mengakibatkan penurunan minat dalam membaca untuk hiburan. Pergeseran preferensi membaca ini telah berkontribusi pada penurunan permintaan terhadap buku fisik dan penutupan toko buku offline.
5. Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang serius bagi banyak bisnis, termasuk toko buku offline. Pembatasan kegiatan, penutupan bisnis non-esensial, dan penurunan ekonomi secara keseluruhan telah mempercepat tantangan yang dihadapi oleh toko buku fisik.
"Banyak konsumen beralih ke platform online untuk memenuhi kebutuhan membaca mereka selama lockdown, yang lebih memperparah penurunan penjualan untuk toko buku offline," ujarnya.