Restoran cepat saji McDonald's alias McD mengakui tengah mengalami dampak bisnis yang serius akibat aksi boikot yang menimpa perusahaan. Melalui akun LinkedIn, CEO McDonald's Chris Kempczinski mengatakan beberapa pasar di Timur Tengah mengalami penurunan bisnis.
Semua terjadi, tulisnya, karena perang Israel dan Hamas serta misinformasi terkait yang mempengaruhi waralaba asal Amerika Serikat tersebut. "Ini mengecewakan dan tidak berdasar," katanya pada akhir pekan lalu, Jumat (5/1), dikutip dari CNN.
Kempczinski tidak memberikan rincian spesifik, termasuk berapa banyak penjualan yang terkena dampak negatif. “Di setiap negara tempat kami beroperasi, termasuk di negara-negara Muslim, McDonald’s dengan bangga diwakili oleh pemilik operator lokal yang bekerja tanpa kenal lelah untuk melayani dan mendukung komunitas mereka.” ucapnya.
Pernyataan ini muncul beberapa bulan usai McDonald's di Israel menawarkan diskon bagi tentara, pasukan keamanan, dan pihak lainnya. Ketika itu Israel baru saja melancarkan serangan ke Hamas pada 7 Oktober 2023.
Tindakan itu memicu seruan memboikot merek tersebut. McDonald's dianggap telah mendukung kependudukan Israel di Gaza yang telah membunuh ribuan warga Palestina.
Banyak operator McDonald's di negara lain dengan cepat menjauhkan diri dari tindakan serupa. McDonald's Kuwait, Pakistan, dan negara lainnya mengeluarkan pernyataan yang menyatakan mereka tidak berbagi kepemilikan waralaba dengan McDonald's Israel. Beberapa bahkan menyatakan telah memberi sumbangan untuk membantu warga Palestina di Gaza.
Bisnis Waralaba McDonald's
Sebagian besar McDonald's dijalankan oleh operator waralaba lokal. Para operator ini bertindak sebagai bisnis independen. Mereka menetapkan upah, harga, hingga rasa yang tepat untuk konsumennya.
Pendekatan tersebut membantu menjadikan McDonald's mampu berkembang secara global. Restoran ini telah memiliki 40 ribu lokasi di seluruh dunia, termasuk hampi 27 ribu di luar Amerika Serikat pada 2022. Sekitar 5% berlokasi di Timur Tengah.
Dengan metode ini, induk perusahaan tidak dapat mendikte masing-masing operator. Namun, sebagian besar pelanggan tidak menyadari perbedaan tersebut dan percaya setiap keputusan perusahaan telah disetujui oleh McDonald's pusat.
Di Malaysia, McDonald's menggugat grup Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) sebesar US$ 1,3 juta atau sekitar Rp 20 miliar. Operator yang didukung sebuah perusahaan Arab Saudi ini menggugat kelompok pro-Palestina itu dengan alasan pernyataan palsu dan memfitnah yang merugikan bisnisnya.
“Alih-alih menekan perusahaan induknya, McDonald’s Corporation, untuk mengakhiri perjanjian waralaba yang memalukan di Israel, McDonald’s Malaysia dan pemiliknya di Arab Saudi justru berusaha mati-matian untuk membungkam suara solidaritas damai terhadap perjuangan pembebasan Palestina di Malaysia,” kata kelompok tersebut.
Dalam pesannya, Kempczinski mengatakan, "Kami membenci kekerasan dalam bentuk apa pun dan dengan tegas menentang ujaran kebencian, dan kami akan selalu dengan bangga membuka pintu bagi semua orang."
Kinerja McDonald's Global
Dalam laporan keuangan terakhirnya, pada kuartal ketiga 2023, raksasa cepat saji ini meraih laba bersih US$ 2,32 miliar atau US$ 3,17 per saham. Angka ini, melansir CNBC, naik dari US$ 1,98 miliar atau US$ 2,68 per saham dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pendapatan McDonald's naik 14% menjadi $6,69 miliar. Kinerja ini terjadi di tengah lonjakan inflasi global. Para eksekutif perusahaan memperkirakan harga akan naik sekitar 10% pada 2023, tapi harga menu pada kuartal ketiga turun sedikit.
McDonald's memperoleh peningkatan pangsa pasar di kalangan konsumen berpendapatan menengah dan tinggi. Hal ini menandakan konsumen mulai beralih dari pilihan makanan yang lebih mahal.
Perusahaan juga melaporkan pertumbuhan penjualan di toko sebesar 8,3%, didorong oleh kuatnya permintaan di Inggris, Jerman, dan Kanada. Segmen pasar berlisensi pengembangan internasional perusahaan, yang mencakup Cina dan Jepang, mengalami pertumbuhan penjualan di toko yang sama sebesar 10,5%.