Pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall di sepanjang pantai utara (Pantura) Jawa akan segera dibangun. Titik awalnya berada di wilayah pesisir DKI Jakarta dengan nilai proyek Rp 164,1 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan proyek ini mendesak untuk terealisasi. Sebab, penurunan tanah di Pantura telah mencapai sekitar 1 centimeter (cm) sampai 25 cm per tahun.
Di sisi lain, terdapat ancaman kenaikan permukaan air laut hingga 1 cm sampai 15 cm per tahun di beberapa lokasi yang dapat memicu banjir rob. Pemerintah mengantisipasi keadaan darurat tersebut untuk menjaga sektor ekonomi nasional yang masih terpusat di Pulau Jawa.
Kawasan Pantura menyumbang sekitar 20.7% produk domestik bruto (PDB) nasional dan menampung 70 kawasan industri, lima kawasan ekonomi khusus, 28 kawasan peruntukan industri, dan lima wilayah pusat pertumbuhan industri.
Airlangga mengatakan estimasi kerugian ekonomi akibat banjir di pesisir Jakarta mencapai Rp 2,1 triliun per tahun. Angka ini dapat meningkat hingga mencapai Rp 10 triliun dalam sepuluh tahun ke depan. "Tentu ini berakibat langsung terhadap kehilangan opportunity cost," ujarnya dalam seminar di Jakarta, Rabu (10/1).
Salah satu yang terlibat dalam pembangunannya adalah Kementerian Pertahanan yang dipimpin Prabowo Subianto. Keterlibatannya karena ada Universitas Pertahanan sebagai lembaga akademis untuk melaksanakan kajian proyek pembangunan tanggul raksasa tersebut.
Prabowo mengatakan pembangunan giant sea wall di seluruh pesisir Pantura membutuhkan waktu hingga 40 tahun. "Karena itu, saya tugaskan Universitas Pertahanan untuk melakukan kajian terkait apa yang dilakukan segera," ucapnya.
Apa Itu Proyek Giant Sea Wall?
Pembangunan tanggul laut raksasa bermula untuk menangani banjir di Jakarta. Proyek ini digagas di era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Pada 2007 pemerintah bekerja sama dengan Kementerian Infrastruktur dan Lingkungan Belanda. Kegiatan untuk mengkaji proyek tersebut bernama Jakarta Coastal Development.
Master plan proyek rampung pada 2008. Firma arsitektur asal Rotterdam, Kuiper Compagnons, dan konsorsium perusahaan Belanda yang mengerjakannya.
Lalu, realisasi proyeknya terjadi pada Oktober 2014. Ketika itu, Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung dengan Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak melakukan pelaksanaan implementasi Program Pengembangan Kawasan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).
Melansir situs Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hadir dalam acara itu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana, Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo.
"NCICD bertujuan untuk memecahkan permasalahan, memulihkan, dan meningkatkan ketahanan lingkungan Ibu Kota Negara RI secara terintegrasi," kata Hermanto kala itu.
Fase awal program NCICD meliputi pembuatan tanggul sepanjang 32 kilometer, revitalisasi waduk atau kolam retensi banjir dan pompa, serta peningkatan kapasitas dan muara sungai. Pembangunan tanggul laut raksasa termasuk dalam proyek tersebut.
Skema pembangunannya melibatkan swasta. Seperempat dari panjang laut menjadi tanggung jawab pemerintah dan sisanya badan usaha swasta. Pemerintah juga mewajibkan perusahaan pengembang pulau pesisir Jakarta ikut membangun giant sea wall yang merupakan bagian NCICD.
Kontribusi pembangunan tanggul menjadi syarat bagi pengembang sebelum melakukan reklamasi. "Para pengembang yang mendapat konsesi harus membangun tanggul di wilayah yang dia dapat," ucap Chairul Tanjung,
Ditolak Anies
Di tengah pelaksanaannya, proyek ini kemudian mendapat sejumlah penolakan. Ketika berkampanye untuk pemilihan gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyebut Ibu Kota tidak membutuhkan tanggul laut, tapi tanggul pantai.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Anies harus tahu dulu risiko dan dampaknya. "Kalau mau dihentikan silakan. Tapi kalau Jakarta tenggelam, jangan lari dari tanggung jawab," ucapnya pada 8 Mei 2017.
Usai terpiliih menjadi gubernur, Anies meminta pemerintah pusat untuk mengkaji ulang proyek giant sea wall. "Yang benar-benar dibutuhkan Jakarta adalah tanggul pantai. Jadi, wall yang sepanjang pesisir pantai kita," kata Anies pada September 2018.
Pemasangan tanggul laut, menurut dia, justru menjadi masalah di berbagai negara. Salah satu dampaknya, tanggul menjadi tempat berkumpulnya air kotor yang membawa polutan dari daratan ke laut dan menjadi "kobokan raksasa".
Pada 24 Januari 2023, Presiden Joko Widodo memerintahkan Pejabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk segera membangun giant sea wall untuk mengantisipasi banjir rob. Pemerintah ketika itu sudah membangun tanggul sepanjang 33 kilometer di utara Jakarta.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan tanggul laut raksasa akan dibangun jika tanggul tersebut tidak ampuh mengatasi rob. "Yang penting emergency tanggul pantainya dulu. Itu yang paling penting. Nanti kalau diperlukan, giant sea wall," kata Basuki.
Berdasarkan kajian Kementerian PUPR, terdapat tiga fase pembangunan tanggul yang akan dikerjakan. Tahapan pertama yakni pembangunan tanggul pantai dan sungai, serta pembangunan sistem pompa dan polder di wilayah Pesisir Utara Jakarta.
Pembangunan tanggul pantai dan sungai fase pertama ini difokuskan pada 44,2 kilometer (km) lokasi kritis. Kementerian PUPR mengalokasikan biaya Rp 10,3 triliun untuk tahap ini dan pendanaan dari Pemda DKI Jakarta senilai Rp 5,8 triliun.
Pemerintah juga telah memproyeksikan kebutuhan dana pengadaan rangkaian proyek giant sea wall fase dua senilai Rp 148 triliun. Besaran dana itu ditujukan untuk pembangunan tanggul laut dengan konsep terbuka pada sisi sebelah barat pesisir utara Jakarta yang harus dikerjakan sebelum tahun 2030.
Dengan begitu, kebutuhan anggaran untuk pembangunan tanggul laut fase pertama dan dua mencapai Rp 164,1 triliun. Pengerjaan fase ketiga terkait pembangunan tanggul laut pada sisi sebelah Timur Pesisir Utara Jakarta harus dikerjakan sebelum tahun 2040.