Protes muncul bertubi-tubi di media sosial terhadap kebijakan pemerintah yang mewajibkan semua pekerja membayarkan iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera sebesar 3% dari gaji/upah mulai 2027. Kebijakan pemerintah ini juga mendapat penolakan tegas dari pengusaha hingga serikat buruh.
Protes, antara lain juga datang dari Lia Handayani, 30 tahun, pekerja swasta di Jakarta. Ia merasa tak membutuhkan program Tapera tetapi dipaksa untuk menyisihkan uang yang sebenarnya dapat digunakan untuk kebutuhan lain.
"Kalau gaji Rp 10 juta, iuran yang harus disisihkan Rp 250 ribu. Padahal potongan sudah banyak. Udah kena potong pajak, BPJS ketenagakerjaan, BPJS kesehatan. Lah ini, ada Tapera lagi," ujar Lia kepada Katadata.co.id, Rabu (29/5).
Keluhan serupa banyak muncul di media sosial. Banyak warganet yang merasa iuran Tapera hanya akan membebani tanpa memberikan manfaat kepada mereka.
Sesuai UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabugan Perumahan Rakyat atau Tapera, semua pekerja yang berusia minimal 20 tahun dengan penghasilan sesuai upah minimum regional wajib menjadi peserta Tapera.
Sementera berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024, pekerja penerima upah diwajibkan membayar iuran 3% terdiri dari 2,5% oleh pekerja dan 0,5% oleh pemberi kerja. Sementara itu, pekerja mandiri harus membayarkan iuran sebesar 3% dari penghasilan.
Mengapa Tapera dibutuhkan?
Berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2016, Tapera dijelaskan sebagai penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu dan hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Inisiasi UU Tapera sebenarnya sudah dimulai di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan masuk dalam program legislasi nasional 2014, tetapi batal disahkan. Saat itu, pemerintah dan DPR melihat masalah backlog yang mencapai 15 juta unit saat itu.
Berdasarkan bahan paparan BP Tapera pada program edukasi 2023, Tapera bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Adapun berdasarkan data BPS, sebanyak 84,79% masyarakat Indonesia sebenarnya sudah memiliki rumah. Porsi kepemilikan rumah warga Indonesia naik dibandingkan 2022 sebesar 83,99%.
Masalah rendahnya kepemilikan rumah hanya terjadi di Jakarta yang baru mencapai 56,57% dari total rumah tangganya pada 2023. Proporsi itu naik tipis dari 2022 yang sebesar 56,13% dan pada 2021 yang sebesar 48,48%.
Manfaat Pembiayaan Rumah Hanya untuk MBR
Meski penarikan iuran Tapera berlaku untuk semua pekerja dengan penghasilan minimum setara UMR, program pembiayaan perumahan Tapera hanya dapat dimanfaatkan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Adapun kelompok MBR saat ini diasosiasikan dengan pendapatan maksimal Rp 8 juta atau Rp 10 juta khusus untuk wilayah Papua.
Mengutip situs Tapera, lembaga ini kini memiliki empat program pembiayaan perumahan, yakni:
- Program pembiayaan kepemilikan rumah pertama atau KPR
- Program pembiayaan perbaikan rumah pertama atau KRR
- Program pembiayaan rumah pertama di atas tanah pribadi atau KBR
- Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FLPP.
Keempat program pembiayaan rumah dengan bunga 5% tersebut diberikan dengan syarat penghasilan minimal Rp 8 juta atau Rp 10 juta khusus wilayah Papua.
Dengan demikian, peserta lain yang memiliki gaji di atas Rp 8 juta hanya dapat memperoleh manfaat tabungan dan imbal hasil. Penembalian tabungan dan imbal hasil pemupukan hanya dapat diperoleh pada saat kepesertaan berakhir, yakni
- Pensiun bekerja
- Mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri
- Peserta meninggal dunia
- Peserta tidak memenuhi kriteria sebagai peserta selama 5 tahun berturut-turut