Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo memproyeksikan sektor usaha ritel pada kuartal kedua tahun ini dapat tumbuh hingga 4,8% secara tahunan. Angka tersebut lebih besar dari pertumbuhan Januari-Maret 2024 sebesar 4,5% secara tahunan.
Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey mengatakan perbedaan pertumbuhan ritel pada masing-masing kuartal tidak berbeda jauh disebabkan terpisahnya Ramadan 2024. Secara rinci, mayoritas bulan Ramadhan 2024 jatuh berlangsung pada Maret 2024, namun Hari Raya Idul Fitri jatuh pada April 2024.
"Mengingat pengalaman, konsumsi pada Lebaran pasti lebih besar karena masyarakat cenderung menghabiskan Tunjangan Hari Raya dengan cepat," kata Roy di kantornya, Jumat (28/6).
Selain Ramadan 2024, setidaknya ada dua perayaan besar lainnya pada paruh pertama tahun ini, yakni Pemilu 2024 dan Tahun Baru Imlek 2024. Walau demikian, Roy menilai dampak Imlek 2024 pada usaha ritel terbatas lantaran perubahan perilaku partai politik.
Roy menjelaskan partai politik umumnya menggenjot konsumsi selama Pemilu 2024 melalui ritel modern. Tahun ini, partai politik tetap mencatatkan peningkatan konsumsi, namun pemesanan barang langsung ditujukan pada distributor.
Roy menjelaskan ada tiga jenis konsumsi dalam perekonomian nasional, yakni konsumsi rumah tangga, konsumsi non profit, dan konsumsi pemerintah. Menurutnya, konsumsi rumah tangga merupakan belanja yang melibatkan peritel, sedangkan konsumsi non profit adalah belanja yang langsung melibatkan distributor.
"Namun peningkatan pembelian barang oleh partai politik masuk dalam angka konsumsi nasional," ujarnya,
Tantangan Pelemahan Rupiah
Roy meramalkan lanskap industri ritel pada kuartal ketiga tahun ini akan lebih menantang. Oleh karena itu, pertumbuhan usaha ritel pada Juli-September 2024 akan sama dengan kuartal kedua tahun ini, yakni antara 4,7% sampai 4,8%.
Roy menilai stagnasi tersebut akan didorong oleh pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Menurutnya, fenomena tersebut akhirnya dapat mengikis kontribusi konsumsi rumah tangga para perekonomian nasional tahun ini dari sekitar 51,8% menjadi hanya 45%.
Sebab, pelemahan rupiah akhirnya akan meningkatkan biaya produksi barang konsumsi di dalam negeri lantaran sebagian bahan baku masu bergantung pada impor. Kenaikan biaya produksi akhirnya akan diteruskan hingga ke konsumen.
Kondisi tersebut diperburuk dengan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25% belum lama ini. Alhasil, Roy memprediksi konsumen di semua tingkat pendapatan akan menahan konsumsi.
"Kalau pemerintah tidak memiliki mitigasi maupun kontinjensi, konsumsi rumah tangga dapat turun. Oleh karena itu, kami mendorong pemerintah melibatkan pelaku usaha dalam menyiapkan mitigasi tersebut," ujarnya.