Negara-negara Eropa marah atas pernyataan utusan Cina yang mempertanyakan kemerdekaan negara-negara bekas Uni Soviet. Kritikan keras ini di tengah rencana negara Tirai Bambu hendak menengahi perdamaian perang Rusia dan Ukraina.
Pernyataan kontroversial datang dari Duta Besar Cina untuk Perancis dan Monako Lu Shaye dalam wawancara dengan stasiun TV di Perancis LCI pada 22 April 2024. Shaye mengatakan negara-negara baltik bekas Uni Soviet tidak memiliki status sebagai negara yang berdaulat di bawah perjanjian internasional.
Dalam wawancara itu, Shaye mendapatkan pertanyaan apakah Cina mengakui tanjung Crimea sebagai bagian dari Ukraina. Rusia mengakui Crimea sebagai bagian dari wilayahnya sejak 2014.
Merespons pernyataan Shaye, negara-negara pasca-keruntuhan Uni Soviet seperti Latvia, Lithuania, dan Estonia berencana memanggil diplomat Cina di negaranya masing-masing. Ketiga negara ini merupakan mantan anggota blok Soviet yang runtuh pada 1991.
Sedangkan Ukraina menilai komentar Shaye cukup aneh lantaran Cina berniat menjadi perantara perdamaian antara Rusia dan Ukraina. "Hal yang aneh untuk mendengar versi yang mustahil tentang 'Sejarah Crimea' dari perwakilan negara yang teliti dalam sejarahnya yang mencapai 1000 tahun," kata Mykhailo Podolyak, Ajudan Senior Presiden Ukraina seperti dilansir dari Reuters, Senin (24/4).
Cina mengumumkan niatnya untuk menjadi pendamai antara Rusia dan Ukraina pada awal tahun ini. Sehingga, Podolyak menilai Cina seharusnya tidak menggaungkan propaganda luar negeri Rusia jika ingin menjadi politikus besar di dunia internasional.
Menteri Luar Negeri Latvia Edgars Rinkevics mengatakan pernyataan Shaye tentang kedaulatan negara-negara Baltik tidak dapat diterima. Seperti dilansir dari Bloomberg, Rinkevics berencana untuk memanggil Duta Besar Cina untuk Latvia untuk menjelaskn maksud pernyataan Shaye.
Rinkevics menyampaikan langkah tersebut merupakan hasil koordinasi dengan pemerintah Estonia. Menteri Luar Negeri Estonia Margus Tsahkna berpendapat penyataan Shaye sebagai misinterpreatasi sejarah.
Presiden Perancis Emmanuel Macron telah mengunjungi Cina belum lama ini. Macron berencana untuk membantu Cina dalam menggodok kerangka negosiasi antara Rusia dan Ukraina.
Oleh karena itu, Menteri Luar Negeri Perancis Catherine Colonna mengaku cemas dengan pernyataan Shaye. Fontelles berharap komentar Shaye tentang Crimea tidak merefleksikan posisi pemerintahan Cina.
Colonna menekankan Perancis memiliki solidaritas penuh dengan Ukraina yang telah menjadi sekutu dan mitra pemerintah. Menurutnya, Ukraina telah meraih kemerdekaanya setelah mengalami penindasan selama puluhan tahun.