Moeldoko: Ada Perkembangan Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal (Purn) Moeldoko menjawab pertanyaan pembawa acara Podcast Antara Afut Syafril Nursyirwan di kediaman Moeldoko di Menteng, Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Lona Olavia
7/9/2023, 19.46 WIB

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, telah ada perkembangan baru terkait penyelesaian sengketa di Laut Cina Selatan. Moeldoko menyatakan hal tersebut setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur ke-18 hari ini, Kamis (7/9).

Moeldoko mengatakan, yang dituntut oleh negara-negara yang terseret sengketa Laut Cina Selatan adalah kode etik atau code of conduct terkait penyelesaian sengketa tersebut. Menurutnya, pemerintah Cina telah menunjukkan keinginan untuk membentuk kode etik atau code of conduct tersebut.

"Sepertinya Cina akan ke arah sana, membuat code of conduct. Tentu pembuatan code of conduct tersebut bersama-sama dengan negara-negara anggota ASEAN," kata Moeldoko di Jakarta Convention Center, Kamis (7/9).

Moeldoko mengatakan, pembahasan terkait sengketa Laut Cina Selatan tidak terlalu spesifik hingga penggunaan peta di wilayah tersebut. Menurutnya, kode etik nantinya akan mengatur setiap entitas dalam memperlakukan Laut Cina Selatan.

Oleh karena itu, Moeldoko mengimbau pemerintah Cina untuk memegang komitmen untuk tidak meningkatkan presensinya di Laut Cina Selatan selama pembuatan kode etik tersebut. Hal tersebut dinilai penting lantaran komitmen tersebut telah tertuang dalam Pernyataan Pimpinan KTT Asia Timur ke-18.

Secara detail, komitmen tersebut terekam dalam artikel 21-23 dalam dokumen tersebut. Secara singkat, tiga artikel tersebut menekankan penegakan prinsip hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNCLOS pada 1982.

Selain itu, negara yang menghadiri KTT Asia Timur ke-18 sepakat bahwa hukum internasional terkait laut termasuk konvensi Organisasi Maritim Internasional dan Organisasi Aviasi Sipil Internasional. Pada dasarnya, pengakuan hukum tersebut merupakan langkah pembuatan konsep perencanaan dari konesktivitas ASEAN yang ditargetkan rampung pada 2025.

Sebelumnya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, hampir semua pemimpin negara dalam KTT ASEAN-Cina sepakat terkait perlunya upaya untuk saling menjaga kepercayaan. Para pemimpin negara juga sepakat pentingnya masing-masing negara untuk menghormati hukum internasional sebagai modal terciptanya perdamaian dan stabilitas kawasan.

"Para Pemimpin juga menyambut baik pedoman percepatan negosiasi code of conduct di Laut Cina Selatan," ujar Retno.

Sebagai informasi di tengah upaya untuk mempercepat negosiasi tersebut, ketegangan terkait Laut Cina Selatan kembali meningkat antara Filipina dan Cina. Perselisihan terbaru terjadi setelah militer Filipina menuduh kapal penjaga pantai Cina mengganggu kapal pemasoknya pada awal bulan lalu dengan menyemprotkan meriam air.  

Manila mengatakan bahwa langkah penjaga pantai Cina itu berlebihan, tetapi Cina bersikeras bahwa pihaknya telah melakukan tindakan yang rasional. Akar perselisihan kedua negara terkait Laut Cina Selatan sebenarnya adalah penempatan kapal perang era Perang Dunia II, Sierra Madre, yang oleh Filipina sengaja ditambatkan di Second Thomas Shoal (terumbu/daerah dangkal bernama Second Thomas) sebagai pos militer untuk melindungi klaim teritorialnya.

Terumbu yang disengketakan itu terletak di dalam zona ekonomi eksklusif Filipina dan Manila secara teratur merotasi pasukan di pos tersebut.  

Reporter: Andi M. Arief