Gelombang Panas Melanda Asia, Ilmuwan Sebut karena Perubahan Iklim

ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammed Salem/wsj/cf
Ilustrasi, gelombang panas.
Penulis: Agung Jatmiko
6/5/2024, 15.27 WIB

Gelombang panas atau heat wave menjadi topik perbincangan beberapa hari terakhir, baik di media massa maupun media sosial. Ini karena suhu panas ekstrem tengah 'menyerang' sejumlah negara di Asia, terutama di wilayah Asia Tenggara.

Suhu panas memang telah melanda Asia sejak awal April. Namun, menjelang bulan Mei, suhu naik drastis di sebagian besar wilayah Asia Selatan dan Tenggara, yang menewaskan puluhan orang, memaksa pemerintah di beberapa negara menghentikan aktivitas belajar tatap muka untuk sementara, serta merusak tanaman.

Di Indonesia, cuaca ekstrem juga melanda awal Mei 2024, tetapi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan, suhu panas yang melanda tidak berkaitan dengan heat wave atau gelombang panas yang terjadi di Asia.

Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan, suhu panas yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan periode peralihan musim atau pancaroba, dari musim hujan ke kemarau.

"Sebagian wilayah Indonesia mulai mengalami awal kemarau dan sebagian wilayah lainnya mengalami periode peralihan musim atau pancaroba. Sehingga, potensi fenomena suhu panas dan kondisi cerah di siang hari masih mendominasi cuaca secara umum di awal Mei 2024," kata Guswanto dalam keterangan resmi, Jumat (3/5).

Berdasarkan data BMKG, Senin (6/5), suhu tertinggi di Indonesia diperkirakan terjadi di Semarang dan Surabaya, yakni mencapai 35 °C. Sementara, DKI Jakarta suhu diperkirakan berkisar antara 24-32 °C.

Fenomena gelombang panas (ANTARA FOTO/Syaiful Arif/tom)

Serangan Gelombang Panas di Asia

Indonesia, Singapura, dan Malaysia menjadi negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak diserang gelombang panas, meski suhu naik cukup tinggi. Sementara, negara-negara seperti Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Filipina mengalami suhu panas ekstrem.

Di Kamboja misalnya, ahli meteorologi mengatakan negara tersebut menghadapi suhu terpanas dalam 170 tahun, yang mencapai 43 °C. Di Myanmar, beberapa wilayah mengalami rekor suhu tertinggi dalam sepekan terakhir. Beberapa kota di negara tersebut, masuk dalam daftar tempat terpanas dunia pada April. Dalam satu kasus, suhu bahkan sempat menyentuh 48,2 °C.

Mengutip Guardian, Vietnam juga mencatatkan suhu ekstrem di atas 40 °C pada April lalu. Suhu tertinggi terjadai pada Selasa (2/5), yang mencapai 43 °C. Tanda paling dramatis dari cuaca ekstrem yang melanda Vietnam, terjadi di Dong Nai, dimana ratusan ribu ikan mati di waduk akibat panas.

Filipina juga mengalami serangan gelombang panas parah. Hampir 4.000 sekolah menangguhkan kelas tatap muka karena indeks suhu panas di beberapa daerah melampaui 42 °C. Cuaca panas ekstrem yang melanda, juga merusak hasil pertanian dengan total nilai 5,9 miliar peso atau US$ 103 juta.

Dilansir dari CBS News, pihak berwenang di Thailand telah mengimbau masyarakat untuk tetap berada di dalam rumah jika memungkinkan. Pasalnya, sudah ada 30 kematian yang disebabkan oleh serangan panas tahun ini. Di ibu kota Bangkok, pihak berwenang mengatakan indeks panas bahkan sempat menyentuh 52 °C pada Kamis (2/5).

Di Asia bagian selatan, rekor suhu panas juga terpecahkan di Bangladesh, dengan suhu maksimum harian antara 2-8 °C di atas rata-rata suhu tertinggi harian yang sebesar 33,2 °C. Artinya, suhu di negara ini dapat mencapai kisaran 34-41 °C sejak April hingga saat ini.

Selain Bangladesh, gelombang panas juga menyerang India, dimana di beberapa wilayah suku maksimum bisa lebih dari 43,3 °C. Suhu tertinggi terjadi pada 21 April, yakni mencapai 46 °C.

Badan meteorologi India atau India Meteorological Department (IMD) pada 30 April lalu mengeluarkan peringatan atau red alert untuk beberapa negara bagian, yakni Andhra Pradesh, Bihar, Benggala Barat dan Odisha, di mana suhu telah melonjak sejak pertengahan April. IMD memperingatkan gelombang panas akan menjadi lebih buruk hingga Mei 2024.

Penyebab Cuaca Panas Ekstrem di Asia

Para ilmuwan berbeda pendapat mengenai dampak fenomena cuaca El Nino yang sedang berlangsung. Namun, banyak yang percaya bahwa peningkatan suhu di Pasifik bagian tengah, yang mengubah pola cuaca di seluruh dunia selama bertahun-tahun, telah memperburuk keadaan pada tahun ini di Asia Selatan dan Tenggara.

“Saya pikir ini adalah gabungan dari El Nino, pemanasan global dan perubahan musim. El Nino sendiri tengah bertransisi ke La Nina, dan ini adalah waktu ketika pemanasan maksimum terjadi di Samudera Hindia,” kata Raghu Murtugudde, ilmuwan iklim di Institut Teknologi India Mumbai, dikutip dari CBS News.

Ia menjelaskan, bahwa fenomena El Nino ini sudah terjadi sejak Maret 2023, dan menjadi penyebab gelombang panas menghantam beberapa wilayah di Asia. Ditambah dengan pemanasan global, siklus tahunan ini menjadi semakin buruk.

Ilustrasi, gelombang panas (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Meski demikian, pendapatnya tidak sepenuhnya diterima oleh ilmuwan lain. Ilmuwan di Pusat Ilmu Atmosfer Institut Teknologi India Krishna AchutaRao mengatakan, El Nino tidak dituding ketika gelombang panas melanda Asia tahun lalu, yang menewaskan 100 orang di India dan Pakistan.

“Sama seperti tahun ini, tahun lalu gelombang panas meluas dari sebagian India hingga Bangladesh dan Myanmar, hingga Thailand. Tahun ini meluas lebih jauh ke timur, hingga Filipina. Jadi, polanya sama, tetapi saya tidak terlalu percaya bahwa El Nino adalah penyebabnya,” kata AchutaRao.

Namun sebagian besar ahli sepakat, bahwa perubahan iklim adalah salah satu penyebab utama panas ekstrem yang melanda Asia tahun ini. Sebelumnya, pada tahun lalu sejumlah ilmuwan pun telah memperingatkan, bahwa perubahan iklum akan membuat gelombang panas 100 kali lebih mungkin terjadi.

Kesimpulan perubahan iklim menjadi penyebab cuaca panas ekstrem dilontarkan oleh World Weather Attribution (WWA). Tim ilmuwan dari organisasi ini telah mengumpulkan dan menganalisis data gelombang panas tahun lalu di Asia, beserta puluhan bencana alam yang menyertainya di Laos dan Thailand.

Tim tersebut menyimpulkan, bahwa peristiwa cuaca ekstrem berupa gelombang panas saat ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya perubahan iklim. Sebab, Maret, April, dan Mei yang biasanya merupakan bulan terpanas dan terkering sepanjang tahun, tidak se-ekstrem tahun ini. Selain itu, fenomena El Nino sudah dikenal sejak lama, namun belum pernah menimbulkan dampak separah tahun lalu atau saat ini.