Hikmah Halalbihalal Saat Idul Fitri

ANTARA FOTO/Syaiful Arif/hp.
Penulis: Arofatin Maulina Ulfa - Tim Riset dan Publikasi
21/4/2022, 01.00 WIB

Halalbihalal menjadi ajang silaturahmi antar sesama, setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Halalbihalal biasanya diawali dengan saling bermaafan atas segala kesalahan melalui tradisi sungkeman.

Anjuran saling bermaafan juga telah diwahyukan dalam Al-Quran, sebagaimana firman Allah SWT:

“Jadilah pemaaf dan anjurkanlah orang berbuat baik, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A`raf: 199).

Meski kata “halalbihalal” identik dengan kosa kata dalam bahasa Arab, namun tradisi ini sejatinya merupakan tradisi asli Indonesia. Kata “halalbihalal” sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Halalbihalal berarti maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Biasanya, halalbihalal diadakan di sebuah tempat seperti auditorium, aula, dan tempat-tempat lainnya oleh sekelompok orang.

Halalbihalal berasal dari kata serapan 'halal' dengan sisipan 'bi', yang berarti 'dengan' dalam bahasa Arab. Sisipan ‘bi’ terletak di antara dua kata 'halal'.

Menurut Antropolog Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Muhammad Soehadha, asal mula halalbihalal sebagai ajang silaturahmi telah ada sejak abad ke-18. Tradisi ini bermula dari tradisi kraton Mangkunegaran, Surakarta, yang bernama pisowanan.

Bila dirunut sejarahnya, tradisi pisowanan telah ada sejak era pemerintahan Raden Mas Said atau KGPA Arya Mangkunegara I (1757 - 1795), alias Pangeran Sambernyawa. Tradisi pisowanan kemudian disesuaikan dengan semangat keislaman.

Saat itu, setelah merayakan Idul fitri, Mangkunegara I menggelar acara sungkeman untuk menunjukkan hormat dan meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Acara ini melibatkan keluarga dan kerabat kerajaan, para abdi dalem, hingga prajurit.

Dalam Kamus Jawa-Belanda (1938), ahli linguistik Belanda Theodoor Gautier Thomas Pigeaud juga mencatat kegiatan ini dengan penyebutan “alal behalal”, yang artinya acara saling memaafkan ketika hari raya.

Organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) juga memiliki sejarah yang unik terkait peristiwa halalbihalal. Tahun 1924, majalah Soeara Moehammadijah mengulas tentang halalbihalal dengan penyebutannya “chalal bi chalal”, yang artinya kegiatan silaturahmi, memohon maaf antar umat Islam selepas Lebaran.

Salah satu pendiri NU, KH Wahab Chasbullah (1888-1971), menjadi tokoh yang mempopulerkan kegiatan halalbihalal pada tahun 1948. Saat itu ia dipanggil ke Istana Negara oleh Presiden Soekarno, lantas dimintai pendapatnya untuk mengatasi kerenggangan hubungan di antara para pejabat politik.

KH Wahab Chasbullah kemudian mengusulkan untuk diadakan acara silaturahmi yang bertepatan dengan perayaan Idul Fitri 1367 H. Ia mengusulkan acara halalbihalal sebagai ajang silaturahmi.

Yang pasti, halalbihalal tak hanya mempererat rasa persaudaraan. Ia juga menjaga kewarasan mental dan pikiran. Halalbihalal membentuk koneksi sosial dengan menjaga hubungan antar teman dan keluarga.

Menurut Global Council on Brain Health (GCBH), mengambil bagian dalam kegiatan sosial dapat membantu mempertahankan ketajaman berpikir saat seseorang bertambah usia, sekaligus memperlambat penurunan daya kognitif.

Para peneliti di Duke University Medical Center juga menemukan bahwa ikatan sosial dapat mengurangi angka kematian pada orang-orang dengan penyakit medis yang serius.

Sementara itu, Beverly H. Brummett dan rekan melaporkan pada tahun 2001 bahwa angka kematian pada orang dewasa dengan penyakit arteri koroner 2,4 kali lebih tinggi terjadi pada mereka yang terisolasi secara sosial.

Idul Fitri kali ini menjadi kesempatan yang baik untuk bersilaturahmi, setelah dua tahun sebelumnya pandemi Covid-19 membatasi kegiatan berkumpul bersama keluarga. Meluangkan waktu sejenak untuk saling bermaafan dan berkumpul bersama keluarga dapat membantu mengurangi kepenatan akibat tekanan pekerjaan dan pandemi yang belum usai.