Penunjukan 14 staf khusus oleh Presiden Joko Widodo menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Apalagi, empat di antaranya merupakan pendiri startup dan tetap menjabat di perusahaan rintisan tersebut.
Posisi sang CEO yang menjabat sebagai staf khusus dinilai akan menguntungkan startup yang dipimpinnya. Keuntungan itu setidaknya didapat dari publisitas yang positif.
Contohnya Andi Taufan Garuda Putra, pendiri dan CEO fintech Amartha. “Mau bagaimanapun posisinya pasti ada dampak yang positif, karena terobosan Amartha diakui Presiden. Pasti ada dampaknya secara langsung dan tidak langsung, karena sejuta mata akan mengarah ke sana,” kata Kuseryansyah, Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
(Baca: Profil Andi Taufan Garuda Putra, CEO Amartha yang Jadi Stafsus Jokowi)
Yang menarik, saat membuka laman pencarian Google dengan kata kunci ‘Amartha’ dan ‘Andi Taufan’, akan muncul iklan adwords yang menyebut “staf khusus presiden, berizin dan diawasi OJK, amartha.com.”
Bagaimanapun, sebagai ketua asosiasi yang mewadahi Amartha, Kuseryansyah mendukung Andi Taufan salam peran barunya sebagai Staf Khusus Presiden. “Kami harapkan Pak Taufan bisa menjembatani aspirasi dari industri fintech khususnya p2p lending ke Istana.”
Selain Andi Taufan, pemimpin startup lain yang kini juga menjabat sebagai staf khusus adalah Adamas Belva Syah Devara yang merupakan pendiri Ruang Guru, Putri Tanjung yang menjabat CEO dan Founder Creativepreneur, dan Angkie Yudistia, pendiri Thisable Enterprise.
(Baca: Daftar 14 Staf Khusus Jokowi, 10 Wajah Baru dan 4 Nama Lama)
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menyoroti para staf khusus yang masih memimpin perusahaannya. Dia khawatir terjadi benturan kepentingan.
"Ketika mereka punya akses dalam kekuasaan sementara mereka masih berurusan dengan bisnis yang kita tahu di Indonesia masih sangat terpengaruh dengan akses kekuasaan, itu bisa dianggap conflic of interest," kata Yunarto di Jakarta, Selasa (26/11).
perlu ada aturan kode etik yang mengatur staf khusus sehingga tak terjadi benturan kepentingan.
Dia menyebut setidaknya ada dua poin yang harus diatur. Pertama, para staf khusus sebaiknya melepaskan diri dari manajemen di perusahaannya. "Saya berharap mereka mundur dari manajemen, meski statusnya tetap sebagai founder," kata dia.
(Baca: 4 Staf Khusus Jokowi Kelola Startup Dinilai Rawan Konflik Kepentingan)
Kedua, perlu ada pakta integritas. "Mereka harus siap mengundurkan diri apabila terbukti ada satu perbuatan yang dianggap masuk dalam wilayah conflict of interest," kata Yunarto.
Berbeda dengan Yunarto, Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan, staf khusus Jokowi bertugas memberikan pandangan kepada Presiden. Tak masalah bila mereka masih menjabat di perusahaannya.
Sorotan terhadap perusahaan akibat jabatan itu pun dimakluminya. "Bila dampaknya membantu awareness dan popularity perusahaannya, seharusnya enggak masalah sih," kata Ignatius.
Kecuali, jika para staf khusus terbukti memanfaatkan posisinya sehingga terjadi benturan kepentingan. "Secara etika tidak tepat, namun soal itu pemerintah yang bisa menjawab," kata dia.