Secara Historis, Gempa & Tsunami Berulang Kali Terjadi di Selatan Jawa

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Kapal yang terdampar ke pemukiman penduduk akibat gelombang tsunami di desa Sukamanah, Anyer, Banten, Senin (24/12/2018).
Penulis: Abdul Azis Said
23/7/2019, 08.41 WIB

Belakangan masyarakat yang tinggal di sepanjang pesisir selatan Jawa dibuat cemas dengan kabar adanya potensi gempa dan tsunami di wilayah mereka. Informasi tersebut bersumber dari pernyataan Widjo Kongko, pakar tsunami yang merupakan pejabat di Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

“Ada segmen-segmen megathrust di sepanjang selatan Jawa hingga ke Sumba di sisi timur dan di selatan Selat Sunda. Akibatnya, ada potensi gempa megathrust dengan magnitudo 8,5 hingga 8,8,” kata Widjo seperti dikutip dari Antara, Kamis (19/7). 

Thrust adalah mekanisme gerakan lempeng bumi yang menimbulkan gempa dan gelombang pasang. Megathrust terjadi jika yang bergerak adalah lempengan dua benua yang kemudian bertemu. Gempa yang ditimbulkan megathrust ini memiliki magnitudo besar dan mampu mendorong gelombang tsunami ke daratan. 

Jika benar terjadi, Widjo mengatakan, gempa akan menimbulkan ancaman tsunami. Tsunami yang berpotensi terjadi dapat mencapai tinggi hingga 20 m pada waktu 30 menit pascaterjadinya gempa, dan akan merendam daratan hingga jarak 3-4 km dari bibir pantai. Wilayah-wilayah yang disebutkan meliputi Cilacap lalu memanjang hingga ke timur Jawa, termasuk wilayah pesisir selatan Daerah Istimewa Yogyakarta.

(Baca: BMKG Imbau Mitigasi Potensi Gempa dan Tsunami Selatan Jawa)

BMKG Lakukan Pemetaan Gempa

Ini bukan kali pertama masyarakat dihebohkan dengan pernyataan Widjo terkait potensi gempa dan tsunami di Indonesia. Seperti dikutip dari siaran pers yang diterbitkan BPPT pada April 2018, pernyataan serupa juga sempat dilontarkannya dan membuat heboh jagat maya setelah Widjo mengisi seminar ilmiah bertajuk ‘Sumber-sumber Gempa Bumi dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat’ pada peringatan hari Meteorologi Dunia ke-68 di Gedung Auditorium BMKG pada 3 April 2018.

Potensi gempa tersebut bersumber dari hasil studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Gempa Nasional Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bersama BMKG dan sejumlah akademisi. Dalam laporan yang juga diterbitkan dalam buku “Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017” terdapat tiga lokasi yang berpotensi mengalami gempa megathrust, yakni Enggano (M 8,4), Selat Sunda (M 8,7), dan Jawa Tengah bagian barat (M 8,7).

Jika ketiga gempa tersebut terjadi bersamaan maka lokasi yang paling terdampak ialah pesisir Pulau Sumatra bagian selatan, Selat Sunda, dan Jawa bagian barat. Potensi gempanya berkekuatan 9 M dan dapat menimbulkan tsunami di Laut Jawa yang berhadapan langsung dengan Jakarta Utara dan Bekasi memanjang hingga Selat Sunda, termasuk pula potensinya di Pantai Selatan hingga Tasikmalaya dan Ciamis.

Dengan kemungkinan terburuk tersebut, BMKG juga memetakan potensi tsunami yang berpotensi terjadi di wilayah terdampak gempa megathrust. Tak tanggung-tanggung, wilayah Pantai Utara Jawa bagian barat (dari Bekasi hingga Serang) berpotensi tsunami maksimum hingga 25 m. Sementara dari wilayah pantai bagian barat (Pandeglang) hingga pantai selatan (Ciamis) potensi tsunami maksimum hingga 50 m.

Pernyataan Widjo itu sontak membuat masyarakat bertanya-tanya terkait kebenaran informasi tersebut. Namun, di akhir siaran pers itu disebutkan bahwa laporan itu hanya untuk konsumsi akademisi dan masyarakat diimbau untuk tidak khawatir.

(Baca: Gempa Magnitudo 6 Guncang Bali, Getarannya Terasa Sampai Lombok)

Catatan Gempa di Selatan Jawa

Bukan sekali dua kali aktivitas subduksi lempeng Indo-Australia dengan Eurasia yang berlokasi di laut selatan menyebabkan gempa di daratan Pulau Jawa. Beberapa gempa dahsyat pun pernah mengguncang wilayah selatan Jawa hingga menyebabkan kerusakan parah dan ribuan korban meninggal dunia.

Gempa disertai tsunami pernah memporak-porandakan pesisir pantai dari Yogyakarta hingga Trenggalek pada 1840 dan 1859. Gempa dengan kekuatan lebih dari 7 SR di pesisir pantai Pacitan juga pernah terjadi pada Oktober 1859. Ada pula gempa dengan kekuatan 8 SR yang menewaskan lebih dari 500 orang di Yogyakarta pada Juni 1867.

Pada 26 Februari 2016, gempa kembali terjadi di Pacitan dengan kekuatan 5,3 SR yang berpusat di Samudera Hindia, sekitar 100 km arah tenggara Pacitan. Meski tak menimbulkan tsunami, namun getarannya terasa hingga Yogyakarta.

Kejadian terbaru terjadi di pesisir selatan tepatnya di wilayah Cilacap, Jawa Tengah pada 29 Juni 2019. Getarannya terasa sampai Pacitan hingga Pangandaran. Gempa pada 29 Juni 2019 merupakan gempa ke-4 sejak periode gempa pertama terjadi pada 18 Mei 2019 dengan kekuatan 5,6 SR. Gempa kedua pada 9 Juni 2019 berkekuatan 5,5 SR dan ketiga pada 21 Juni 2019 dengan kekuatan 5,2 SR.

Selain itu, gempa juga memicu terjadinya tsunami, termasuk yang terjadi di wilayah selatan Jawa Timur pada 3 Juni 1994. Saat itu sejumlah kawasan pesisir selatan Banyuwangi, Pantai Plengkung, Pantai Pancer, dan Pantai Rajegwesi diterjang tsunami akibat adanya aktivitas gempa tektonik 7,8 M di kedalaman 18 km arah selatan Samudera Hindia. Akibatnya, lebih dari 200 korban meninggal dan kerusakan parah terjadi pada perumahan warga.

(Baca: Penyebab Tsunami di Selat Sunda Masih Misteri)

Gempa Pangandaran dan Yogyakarta

Tsunami akibat gempa di wilayah pantai selatan kembali terjadi pada 2006. Gempa berkekuatan 6,8 SR mengakibatkan luapan gelombang air laut setinggi 5 m yang menghancurkan permukiman dan objek wisata Pantai Pangandaran, Jawa Barat pada 17 Juli 2006. Gelombang tsunami juga menghantam sejumlah wilayah pesisir pantai selatan Jawa Barat, seperti Cipatujah, Tasikmalaya dan beberapa pesisir selatan Jawa Tengah di Cilacap hingga Purworejo.

Gempa bersumber dari subduksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang berpusat di 225 km arah barat Daya Kabupaten Pangandaran dan menyebabkan lebih dari 600 korban meninggal serta ribuan korban luka-luka. Getarannya bahkan terasa hampir di seluruh wilayah Pulau Jawa, termasuk Jakarta. Berdasarkan laporan BBC Indonesia, kepanikan juga dirasakan banyak karyawan dari sejumlah perkantoran di Jakarta yang mencoba mengamankan diri dengan turun dari gedung kantor.

Gempa Pangandaran merupakan pengulangan dari gempa yang juga pernah terjadi di lokasi yang sama pada 1921. Tak ada catatan terkait kejadian gempa kala itu. Namun getarannya yang mencapai 7,5 SR menyebabkan terjadinya tsunami di sepanjang pesisir selatan dengan garis pantai daerah terlanda sepanjang 275 km.

Selain adanya aktivitas pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia, potensi kegempaan di wilayah selatan Jawa, khususnya Yogyakarta dipicu adanya sesar Opak yang masih aktif. Lokasinya di sekitar aliran Sungai Opak yang membentang dari Gunung Merapi dan bermuara di pantai selatan.

(Baca: Gempa Magnitudo 7,4 Guncang Maluku, Tidak Berpotensi Tsunami)

Salah satu dampaknya yang paling teringat ialah gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Aktivitas tektonik sesar Opak mengakibatkan guncangan hebat yang dirasakan warga Yogyakarta dan sejumlah wilayah di selatan Jawa Tengah dengan kekuatan 5,9 SR.

Pusat gempa berada 10 km arah timur dari aliran Sungai Opak di daerah Bantul. Gempa ini menjadi salah satu yang terparah karena menyebabkan 5.782 korban meninggal di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan, 26.229 korban luka berat dan ringan, serta 71.372 rumah rusak berat.

Penulis : Abdul Azis Said (Magang)