Harry Azhar Azis, Calon Anggota BPK yang Dibayangi Panama Papers

ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Harry Azhar Azis memberikan sambutan pada peluncuran Festival Film Kawal Harta Negara 2017, di Jakarta, Selasa (14/3).
Penulis: Dwi Hadya Jayani
4/7/2019, 18.23 WIB

Nama para politikus meramaikan daftar calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Salah satunya politisi dari Fraksi Golkar, Harry Azhar Azis, yang kembali maju sebagai calon Anggota BPK periode 2019-2024.

Harry merupakan anggota BPK yang akan habis masa jabatannya pada Oktober 2019 bersama Eddy Mulyadi Supardi (Alm.), Rizal Djalil, Moermahadi Soerja Djanegara, dan Achsanul Qosasi. Ia pernah menjadi ketua BPK kemudian dilengserkan secara aklamasi sebelum lima tahun. Pada saat menjabat sebagai Ketua BPK, Harry seringkali disorot karena berbagai pelanggaran kode etik yang dilakukannya.

(Baca: Harry Azhar Azis Kembali Dicalonkan Menjadi Anggota BPK)

Salah satunya pelanggaran kode etik yang disoroti terkait dengan kasus Panama Papers. Panama Papers merupakan dokumen milik firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca, yang bocor ke publik. Dokumen ini menyebutkan perusahaan milik Harry, Sheng Yue International, tercatat mendirikan perusahaan offshore di negara suaka pajak pada 2010. Tujuan pendirian perusahaan tersebut adalah untuk menghindari pembayaran pajak kepada negara asalnya.

Harry mengakui, perusahaan tersebut dibentuk atas permintaan anaknya untuk memiliki usaha bersama. Atas hal tersebut, Harry dilaporkan kepada Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK oleh Koalisi Selamatkan BPK pada 26 April 2017. Koalisi Selamatkan BPK sebagai pihak pelapor terdiri atas Indonesia Budget Center (IBC), Indonesia Parliamentary Center (IPC), Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan Medialink Indonesia, Perkumpulan Insiatif, dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP).

Pria kelahiran Kepulauan Riau, 25 April 1956 ini juga memiliki segudang pelanggaran lain. Selain tersangkut Panama Papers, ia juga merangkap jabatan dengan menjadi ketua BPK dan direktur Sheng Yue International. Ia baru melepaskan jabatannya satu bulan setelah masuk BPK. Selain itu, Harry juga tidak patuh dalam melaporkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

MKKE BPK menyatakan, Harry Azhar Azis melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis yang masuk ke dalam hukuman ringan. Putusan MKKE BPK ini dinilai mengecewakan. Perwakilan Koalisi Selamatkan BPK, Roy Salam, menyatakan putusan tersebut tidak sesuai dengan permintaan yang menuntut untuk memberhentikan Harry sebagai ketua dan anggota BPK.

Pada 2017, Harry yang baru menjabat sebagai Ketua BPK selama 2,5 tahun pun lengser digantikan oleh Moermahadi Soerja. Namun, penggantian pimpinan BPK ini disebut tidak terkait dengan Panama Papers. Pergantian ini dilakukan secara aklamasi karena anggota BPK menghendaki penggantian kepemimpinan. Mekanisme yang baru diterapkan inilah yang menyebabkan Harry dilengserkan.

“Pada waktu itu, dikatakan bahwa masa jabatan ketua dan wakil ketua selama 5 tahun, tetapi bisa dievaluasi dalam 2,5 tahun,” kata Moermahadi usai pelantikan di Gedung Mahkamah Agung, Rabu, (26/4/2017).

(Baca: Tito Sulistio dan Harry Azhar Benarkan Ikut Seleksi Anggota BPK)

Mahasiswa Teladan yang Ahli Ekonomi

Sejak masih di bangku kuliah, Harry mengasah kemampuan berpolitiknya dengan terlibat aktif di berbagai organisasi mahasiswa dan kepemudaan. Ia tercatat sebagai Presidium Dewan Mahasiswa APP Departemen Perindustrian RI, ketua umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 1983-1986, dan aktif di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Ayah dari tiga anak ini pernah menjadi pengurus di organisasi pemuda Golkar, yaitu Kosgoro, AMPI, dan AMPG. Pada awal reformasi ia menjadi staf ahli dari Fraksi Golkar MPR RI pada 2001-2004.

Harry juga berhasil memenangkan dua pemilu sebagai anggota DPR periode 2004-2009 dan 2009-2014. Namun saat akan bersaing kembali, Harry kalah lantaran merasa telah dikenal di Kepulauan Riau sehingga modal yang dikeluarkan lebih kecil dibandingkan pemilu sebelumnya.

Meskipun dikenal sebagai politisi Golkar, sebelumnya ia merupakan seorang akademisi yang telah mengabdi di banyak universitas. Sejak 1985 ia menggeluti profesi sebagai dosen yang dimulai dari Universitas Islam Assyafii’yah. Selanjutnya, ia berkontribusi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia, Universitas Tarumanegara, STIMA Kosgoro, Universitas Mercu Buana, Universitas Jayabaya, UPN Veteran, dan Universitas Indonesia.

Prestasi akademik telah Harry torehkan sejak menjadi mahasiswa. Ia pernah menyandang predikat Mahasiswa Teladan Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) Departemen Perindustrian RI pada 1976. Ia juga berkesempatan mengikuti beberapa program pertukaran pelajar. Pertama, program Award for Young Leaders, USIA, Jakarta-Washington DC pada 1986. Kedua, Scholarship Award for ASEAN Youth yang merupakan program kerja sama antara Pemerintah Jepang dan Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga RI pada 1987 dan 1993.

Tidak hanya itu, ia juga memiliki jenjang pendidikan yang fokus di bidang ekonomi. Harry menamatkan pendidikan di Manajemen Perusahaan, APP Departemen Perindustrian RI pada 1975-1980. Kemudia ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana di Sekolah Tinggi Manajemen Industri, Departemen Perindustrian RI pada 1981-1985.

Harry berhasil lulus dengan IPK sebesar 3,7 di University of Oregon, Amerika Serikat pada 1988-1990 dengan gelar Master of Arts (MA) bidang Kebijakan Ekonomi Publik. Lalu ia melanjutkan untuk jenjang doktor dan berhasil meraih IPK 3,8 di Oklahoma State University, Amerika Serikat pada 1994-2000 dengan gelar Doctor of Philosophy (PhD) bidang Ekonomi.

Atas keahliannya tersebut, ia dipercaya menjadi Wakil Ketua Komisi XI DPR RI yang membidangi perekonomian. Selain itu, ia juga berkiprah selama 10 tahun di komisi ini hingga dapat menjadi bekal dalam menjalani fit and proper test di Komisi XI sebagai calon anggota BPK. Ia berhasil menang dengan mekanisme voting dan menyisihkan 61 pesaing lainnya.

Harry juga dipercaya menjadi Panitia Khusus (Pansus) untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) BPK pada 2006, RUU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) DPR RI 2005-2025 pada 2007, dan RUU Perbankan Syariah 2007-2008. Selain itu, ia juga ikut membahas RUU Perpajakan (2005-2009) dan menjadi ketua Pansus RUU Pajak dan Retribusi Daerah (2006-2008).

(Baca: Seleksi Anggota BPK Dinilai Tak Transparan, Sarat Kepentingan Politik)

Reporter: Dwi Hadya Jayani