BNPB: Tak Punya Alat Pendeteksi Tsunami, RI Andalkan Milik Negara Lain

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho memberikan keterangan mengenai perkembangan jumlah korban tsunami di Anyer, Banten, Jawa Barat (26/12).
26/12/2018, 21.14 WIB

Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) membeberkan minimnya peralatan mitigasi tsunami. Bahkan, Indonesia tidak memiliki satu pun buoy alias alat pendeteksi tsunami, karena sudah rusak sejak 2012. Padahal, alat tersebut penting sebagai sarana peringatan dini bagi masyarakat.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Indonesia sempat memiliki 22 unit buoy tsunami pada 2008. Rinciannya, delapan unit dibangun Indonesia, 10 unit dari Jerman, satu unit dari Malaysia, dan dua unit dari Amerika Serikat (AS). Namun, buoy tersebut diketahui rusak pada 2012 lalu.

Alhasil, Indonesia hanya mengandalkan lima buoy milik negara lain di sekitar wilayah Indonesia. Persoalannya, lokasi buoy tersebut cukup jauh. Ia memaparkan, satu dari lima buoy itu berada di barat Aceh milik India, satu unit di Laut Andaman milik Thailand, dua unit di Selatan Sumba milik Australia, satu unit di utara Papua milik AS.

"Itu biasanya kami bisa menerima (deteksi dari buoy milik negara lain) setelah tsunami menerjang wilayah Indonesia," kata dia di kantornya, Jakarta, Rabu (26/12).

(Baca juga: Jokowi Perintahkan Gelar Tanggap Darurat Tsunami Anyer dan Lampung)

Peralatan mitigasi tsunami lainnya juga jauh di bawah kebutuhan. Sutopo mencontohkan, Indonesia hanya memiliki 52 sirine tsunami. Padahal, kebutuhan alat tersebut mencapai seribu unit. Selain itu, Indonesia juga baru memiliki 261 alat digital video broadcast (DVB) dari kebutuhan 553 unit. "Kita masih kekurangan 292 unit (DVB)," kata dia.

Sarana dan prasarana evakuasi, seperti rambu-rambu, jalur evakuasi dan shelter (alias tempat perlindungan) juga masih kurang. Di Banten saja, hanya ada dua shelter yang berada di Wanasalam dan Labuan. Padahal shelter idealnya dibangun setiap radius dua kilometer. "Ini butuhnya banyak," ujarnya.

Menurut dia, minimnya alat mitigasi bencana tersebut karena kerap rusak. Hal tersebut imbas aksi vandalisme yang dilakukan pihak-pihak tak bertanggung jawab. Selain itu, anggaran yang diberikan pemerintah kurang mencukupi.

(Baca juga: Setelah Tsunami Selat Sunda, BMKG Minta Masyarakat Jauhi Pantai)

Sebenarnya, pemerintah pernah memberikan dana khusus untuk pengadaan alat-alat mitigasi melalui Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami pada 2013-2014. Hanya saja, program tersebut dihentikan pada 2015 hingga saat ini. Alasannya, kata Sutopo, anggaran kebencanaan tidak masuk dalam prioritas pemerintah.

"Mungkin ada beberapa pertimbangan-pertimbangan, karena secara umum kan anggaran juga terbatas," ujarnya.

Ke depan, pihaknya mengusulkan agar masterplan tersebut dilanjutkan. Dalam masterplan tersebut, programnya bukan hanya pengadaan alat mitigasi tsunami, tapi juga membangun kultur masyarakat. Sebab, program tersebut juga berisikan penguatan kapasitas kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana.

Program tersebut diimplementasikan melalui pembangunan Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops), desa tangguh, pendidikan kebencanaan, dan pembangunan kemandirian industri kebencanaan. "Ini adalah usulan. Khusus tsunami kami mengusulkan lanjutkan Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami. Berapa anggarannya? Ya ditentukan nanti, kami hitung," kata Sutopo.