Kementerian Kesehatan hingga Juni 2018 mencatat baru 96.298 Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang melakukan pengobatan terapi antiretroviral (ART). Jumlah ini hanya 15% dari total penderita ODHA di Indonesia sebanyak 630 ribu jiwa.
Manajer Riset Jaringan Indonesia Positif Verdy Teek menyebutkan, minimnya ODHA yang melakukan terapi karena kurangnya informasi dan pemahaman terkait HIV maupun ART. Mereka khawatir terapi ART akan menimbulkan efek samping.
Hal ini ditambah adanya informasi yang salah di media sosial mengenai terapi ART. "Informasi itu yang menyebabkan teman-teman enggan menggunakan terapi ART," kata Verdy di Hotel Gran Melia, Jakarta, Senin (3/12).
Para ODHA juga enggan melakukan terapi ART akibat kendala biaya. Banyak ODHA yang tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan dan belum punya pekerjaan. Alhasil, biaya untuk terapi ART dirasa cukup memberatkan.
Ada pula masalah stigma dan diskriminasi yang membuat mereka enggan melakukan terapi ART. Menurut Verdy, ada beberapa ODHA yang tak mau terapi ART karena belum menyampaikan status HIV-nya kepada keluarga.
Mereka takut terapi ART akan membuat pihak keluarga menjauh. Ditambah, mereka takut akan dirisak atau dipersekusi oleh masyarakat karena diketahui sebagai ODHA. "Banyak juga teman-teman perempuan yang belum mau terapi karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau dipaksa oleh pasangannya untuk tidak memulai terapi," kata Verdy.
(Baca: HIV Positif di Indonesia Mencapai 48 Ribu Kasus pada 2017)
Selain itu, masih ada ODHA yang tak melakukan terapi ART karena kebutuhan mental mereka belum dipenuhi petugas pendamping. Mereka tidak diberi penguatan konseling yang cukup baik.
Dari sisi layanan kesehatan, banyak dari ODHA belum mengetahui bahwa terapi ART dibantu melalui BPJS Kesehatan. Kalaupun sudah mengetahui, mereka masih merasa kesulitan menggunakan BPJS untuk terapi ART. "Apalagi kalau di rumah sakit, aturannya banyak yang harus dipenuhi," kata Verdy.
Oleh karena itu, Jaringan Indonesia Positif merekomendasikan kepada para ODHA untuk memulai inisiasi dan retensi terhadap terapi ART. Pemerintah harus pula menyediakan kombinasi obat yang minim toksisitas.
Pemerintah pun harus melakukan desentralisasi layanan terapi ART. Alasannya, terapi ART saat ini baru terpusat di beberapa wilayah besar. "Jadi enggak hanya rumah sakit saja, (terapi ART) di remote area saat ini masih jadi kendala," kata dia.
Verdy juga merekomendasikan adanya layanan bergerak dan distribusi ART secara mandiri. Pemerintah pun juga harus memberikan layanan pesan teks seluler untuk menjangkau para ODHA yang saat ini masih enggan terapi ART.
Selain itu, masyarakat juga harus mulai menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Selama stigma dan diskriminasi masih terjadi, Verdy menilai target untuk penanganan ODHA masih sulit tercapai.
(Baca: Indonesia Tempati Tiga Besar Penyebaran HIV di Asia Pasifik)