Educa Studio menilai bahwa intellectual property tak bisa diabaikan oleh pebisnis kreatif subsektor gim. Pengembang permainan edukasi ponsel ini pun segera mengurus hak kekayaan intelektual (HKI) gim Marble sejak awal mengembangkannya.
CEO Educa Studio Andi Taru Nugroho NW mengatakan, sebaiknya para pengembang mobile game tak menunda proses HKI atas karyanya. Dengan kata lain, pendaftaran kekayaan intelektual tidak perlu menunggu sampai produk yang dibuat terbukti sukses di pasar.
"Marble itu saat awal kami bangun sudah kami proses pendaftaran HKI-nya. Kita tidak akan tahu produk kita akan sukses dan besar atau gagal. Jadi, HKI memang sangat penting," ucapnya kepada Katadata.co.id, Rabu (21/11).
Andi menjelaskan, kesadaran atas pentingnya HKI berawal dari jenama bisnis rumah makan orang tuanya yang diduplikat oleh kompetitor. Belajar dari hal ini maka Educa Studio menekankan pentingnya pendaftaran kekayaan intelektual.
Educa Studio merupakan salah satu pebisnis di bidang ekonomi kreatif yang menjadi finalis Katapel Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Program ini memfasilitasi para pelaku usaha di industri kreatif untuk memonetisasi HKI. (Baca juga: Baru 7,25% Pebisnis Bidang Desain Komunikasi Visual Memiliki HKI)
Gim edukasi yang pertama dikembangkan Educa Studio adalah Marble pada 2011. Permainan edukasi berbasis ponsel pintar Android ini ditujukan untuk anak usia dua hingga enam tahun. Proses pembuatan Marble memakan waktu sekitar dua tahun, pada 2013 baru dipasarkan.
Hak kekayaan intelektual Marble secara resmi dimiliki oleh Educa Studio. Gim ini lantas dapat dimonetisasi dengan cara menampilkannya ke dalam sejumlah produk turunan, seperti merchandise, buku anak-anak, komik, dan lain-lain.
"Marble itu sudah tersedia sekitar 300-an seri gim dengan jumlah pengunduh mencapai sekitar 40 juta. Gim ini membuat anak-anak belajar tetapi tidak secara langsung digurui," ucap Andi. (Baca juga: Pacu Bisnis, Pengembang Gim Tingkatkan Kualitas Produk)
Gim termasuk dalam salah satu subsektor ekonomi kreatif yang ditangani Bekraf, yakni aplikasi dan pengembang gim. Subsektor ini diprediksikan terus berkembang sejalan dengan semakin marak perusahaan rintisan (startup) yang bermain di bidang ini.
Bekraf menyatakan, subsektor yang menarik pendanaan dari investor tersebut menghasilkan nilai transaksi yang besar. Situasi ini juga tak lepas dari semakin seringnya penggunaan perangkat mobile untuk kebutuhan bermain gim.
Berdasarkan laporan Superdata diketahui, rata-rata pengguna ponsel pintar bermain game mobile tiga kali sehari. Rerata setiap sesi permainan selama sepuluh menit. Gim simpel, singkat, dan mudah diakses lebih sering dimainkan daripada gim kompleks.
Kepala Bekraf Triawan Munaf mengutarakan, seperti halnya subsektor ekraf lain maka aplikasi dan pengembang gim harus mendaftarkan karya-karya intelektualnya. Pasalnya, arah ke depan adalah monetisasi HKI agar bisnis yang dijalankan semakin berkembang.
"Kalau tidak bisa didaftarkan HKI, tidak bisa dimonetisasi karya kreatifnya. Kekayaan intelektual ini juga dapat menjadi jaminan bagi pelaku ekraf untuk mengakses permodalan dan memvaluasi bisnisnya," ujar dia.
(Baca juga: Tak Hanya Diproteksi, Kekayaan Intelektual Juga Perlu Dikapitalisasi)
Berdasarkan data Bekraf diketahui, per akhir tahun lalu jumlah pemain gim di dalam negeri sejumlah 43,7 juta orang. Mengutip informasi yang dipublikasikan www.newzoo.com bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-17 dunia untuk pasar gim.