Pelaku bisnis kreatif subsektor permainan menilai, selama beberapa tahun terakhir bidang usaha yang mereka geluti membaik dari segi peluang pasar maupun kualitas sumber daya manusia (SDM). Meski demikian, game developer menyadari bahwa mutu produk tetap harus ditingkatkan.
Managing Director Lentera Nusantara Wahyu Agung Pramudita menuturkan, produk yang dihasilkan para pengembang game lokal lebih berkualitas terutama dalam empat tahun terakhir. Tapi diakui pula bahwa bidang usaha ini belum sempurna.
"(Misalnya) kami kesusahan mengkoordinir SDM agar bersama-sama bisa menghasilkan produk game yang tidak kalah dari creator papan atas. Ruang pasar sudah besar tinggal meningkatkan kualitas supaya setara dengan produk dari luar negeri," katanya menjawab Katadata.co.id, Kamis (18/10).
(Baca juga: Potensi Pasar Gim Indonesia Rp 55,5 Triliun pada 2022)
Lentera Nusantara menyebut dirinya sebagai intelectual property house berbasis teknologi dan seni. Perusahaan rintis (startup) ini hendak membawa kekayaan budaya Indonesia ke dalam platform digital. Aplikasi gim konsolnya yang terkenal adalah Ghost Parade.
Guna meningkatkan kualitas produk, Lentera Nusantara punya strategi tersendiri. Startup ini memutuskan untuk menyajikan Ghost Parade sebagai permainan konsol. Alasannya, gim jenis ini relatif lebih sulit dibandingkan dengan mobile game.
"Kami memilih gim konsol daripada mobile game karena kami pemain baru maka harus membuat milestone dulu. Kami berusaha mencapai lompatan yang jauh dulu. (Menurut kami) konsol ini yang tersulit untuk kerjakan," tutur Wahyu.
Lentera Nusantara mengakui bahwa keputusan mereka mengembangkan permainan konsol terbilang tak sejalan dengan tren pasar. Secara umum, konsumen sekarang lebih banyak memainkan mobile game.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengutip laporan Superdata menyebutkan, rerata pengguna ponsel pintar bermain mobile game tiga kali sehari dengan kisaran per sesi selama 10 menit. Permainan yang simpel, singkat, dan mudah diakses lebih sering dimainkan daripada gim kompleks.
"Permainan konsol memang pasarnya di Indonesia tidak besar tetapi pasarnya ada di dunia. Tapi mobile game juga tidak mungkin kami lupakan," kata Wahyu.
(Baca juga: Menkominfo: Gamer Mobile Legend Jarang Pakai Karakter Gatotkaca)
Sementara itu, Managing Director Digital Happiness Dito Suwardita mengutarakan, konsumen permainan konsol memang lebih loyal daripada jenis gim lain. Serupa dengan gim mistis Ghost Parade besutan Lentera Nusantara, Digital Happiness mengembangkan DreadOut yang juga bernuansa horor.
Tema mistis atau horor dipilih tidak hanya karena dari segi teknis relatif lebih mudah, tetapi para pengembang juga ingin memperkenalkan kearifan lokal ke kancah global. "Kami ingin mengekspor hanti-hantu Indonesia ke luar negeri," ujar Dito.
Senada dengan Lentera Nusantara, Digital Happiness berpendapat bahwa industri kreatif subsektor aplikasi dan permainan terus berkembang. Meskipun demikian, pangsa pasar di dalam maupun luar negeri menjadi tantangan bagi pebisnis di bidang ini.
"Pekerjaan rumah sekarang adalah bagaimana meraup pasar yang lebih besar. Pada 2017, valuasi pasar games Indonesia lebih dari US$ 800 juta, tahun ini bisa bertambah sekitar US$ 300 juta. Tapi kebanyakan konsumen di Indonesia beli gim dari luar," kata Dito.
Berdasarkan data Bekraf diketahui, per akhir tahun lalu jumlah pemain gim (gamer) di dalam negeri sejumlah 43,7 juta. Mengutip informasi yang dipublikasikan www.newzoo.com bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-17 dunia untuk pasar gim.