Indonesia dinilai perlu mengembangkan pariwisata dengan konsep ecoscience. Wisata semacam ini tidak hanya menarik dari sisi bisnis tetapi juga berkontribusi terhadap pelestarian temuan sains di Tanah Air.
Pariwisata berkonsep ecoscience fokus mengangkat perjalanan sejarah suatu temuan ilmiah. Di dalamnya mencakup tentang organisme makhluk hidup, hubungannya dengan organisme lain, lingkungan, serta ekosistem mereka.
Temuan besar yang terlupakan oleh masyarakat Indonesia, dan potensial untuk digarap menjadi ecoscience tourism, adalah Wallacea. "Mengkaji peninggalan Wallace (penemu daerah Wallacea) butuh upaya berkesinambungan untuk menggali dan memaksimalkan potensi yang ada," tutur Ketua AIPI Satryo Soemantri, di Jakarta, Kamis (11/10).
British Council Kedutaan Besar Inggris dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) berkolaborasi menyelenggarakan Wallacea Week 2018 di Jakarta. Kegiatan ini bagian dari peringataan 150 tahun terbitnya buku The Malay Archipelago yang bersumber dari penjelajahan Alfred Russel Wallace.
Daerah Wallacea terletak di wilayah Indonesia bagian timur. Para ahli yang mengkaji tentang Wallacea berbekal The Malay Archipelago menganggap area ini sebagai laboratorium hidup terbesar dunia yang dimiliki Indonesia.
Alfred Russel Wallace menemukan wilayah yang disebut Wallacea melalui penjelajahan pada 1854 - 1862. Perjalanan naturalis asal Inggris ini tidak hanya menceritakan temuan-temuan keanekaragaman hayati tetapi juga kekayaan budaya, bahasa, serta peta perpindahan manusia purba di nusantara.
Sangkot Marzuki selaku Ketua AIPI 2009 - 2018 mengatakan bahwa temuan dari penjelajahan Wallace dapat dikembangkan menjadi potensi pariwisata baru. Konsep wisata ecoscience dapat diterapkan untuk mengembangkannya.
"Kita bisa mengangkat site di mana Wallacce pernah berada, seperti di mana Wallacce mendapat ilham temuan garis imajiner Wallace. Area di antara garis ini memiliki flora fauna yang sangat berbeda," tuturnya ditemui usai diskusi buku The Malay Archipelago, Jakarta, Jumat (12/10).
(Baca juga: Bekraf Sasar Pertumbuhan PDB Ekonomi Kreatif 6,25% Tahun Ini)
Sangkot menyatakan, konsep pariwisata seperti itu belum diaplikasikan di Indonesia. Lebih detil terkait pengembangan wisata yang disebutnya sebagai ecoscience tourism ini memang perlu kajian mendalam.
Tak hanya membutuhkan dukungan pendanaan tetapi juga perlu upaya ekstra untuk membangun cerita terkait penjelajahan Wallace di nusantara. Hal ini bertujuan supaya turis yang kelak hadir dapat memahami secara utuh konteks yang ada.
"Soal pendanaan, membicarakan pengembangan penjelajahan Wallace dari sisi bisnis (pariwisata) akan berbeda jika kita masuk untuk menyoroti dari sisi pendidikan," tutur Sangkot.
Temuan Wallace yang dibukukan dalam The Malay Archipelago pada 1869 terbilang penemuan besar di dunia. Berbagai negara berbondong menerjemahkan versi bahasa Inggris ke dalam bahasa utama mereka. Tapi di Indonesia baru hadir terjemahannya 140 tahun kemudian.
Sejarahwan National University of Singapore John van Wyhne menuturkan, apa yang didokumentasikan Wallace melalui tulisan-tulisannya bukan dalam konteks penelitian atau riset. Yang dilakukannya lebih tepat disebut sebagai penjelajahan.
"Sulitnya mengkaji The Malay Archipelago karena hampir semua jejak sudah hilang. Dokumentasi-dokumentasi percakapan, misalnya, juga sudah hilang. Ini seperti membangun dari potongan-potongan fosil," ucapnya.
Sementara itu, Jurnalis Senior Aristides Katoppo yang turut hadir di dalam diskusi buku The Malay Archipelago menuturkan, Wallace bukanlah ilmuwan. "Saya kira yang dilakukan Wallace lebih sekadar mencatat tentang apa yang dia saksikan," katanya.
Namun dari catatan-catatan Wallace selama di nusantara dapat menjadi sumber otentik bagi para ilmuwan. Bahkan, kemudian muncul kontroversi melibatkan Ilmuwan Charles Darwin. Ilmuwan yang identik dengan teori evolusi ini disebut-sebut menjiplak temuan lapangan dari Wallace.
"Ini mungkin polosnya seorang Wallace bahwa dia menyampaikan semua yang dia dapat kepada Darwin," ujar Aristides.
The Malay Archipelago akhirnya diterjemahkan secara komprehensif oleh penerbit bernama Komunitas Bambu. Pendiri Komunitas Bambu JJ Rizal mengatakan, temuan dari penjelajahan yang dilakukan Wallace merupakan pencapaian dalam ilmu pengetahuan tetapi tidak pernah dirayakan di Indonesia.
"Kami terjemahkan buku itu sebanyak 1.000 eksemplar yang sampai sekarang pun, sejak sepuluh tahun lalu, cetakan kami belum juga habis," ujar Rizal.
Wilayah Wallacea dan karya Alfred Russel Wallace menunjukkan keunikan keanekaragaman hayati dan sosial-budaya di Indonesia. Wallacea Week 2018 diharapkan dapat menyegarkan ingatan masyarakat dan pemerintah terkait kekayaan intelektual ini.