Setelah beberapa bulan Partai Golkar memiliki Ketua Umum yang baru, Airlangga Hartarto, elektabilitas partai berlambang pohon beringin tersebut cenderung stagnan. Elektabilitas Golkar diperkirakan tak akan naik signifikan saat pemilihan umum 2019, kecuali Airlangga menjadi calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo dalam Pilpres 2019.
Hasil survei Charta Politika pada Januari 2018 memperlihatkan bahwa elektabilitas Golkar masih sebesar 12,5%. Pada bulan yang sama, Indo Barometer pun merilis bahwa elektabilitas Golkar baru sebesar 8,6%. Adapun, survei paling anyar yang dilakukan Populi Center pada Februari 2018 menunjukkan elektabilitas Golkar sebesar 10,7%.
"Sebetulnya suara Golkar kalau mau disimpulkan stagnan, tidak ada kecenderungan yang menjelaskan bahwa partai ini misalnya turun drastis karena suatu isu atau kemudian naik drastis setelah Munaslub," kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (23/3).
Padahal ketika Airlangga yang terpilih dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) menggantikan Setya Novanto pada Desember 2017 lalu, elite Golkar memprediksi suara bakal meningkat drastis dengan target meraih 18% suara elektoral dalam Pemilu 2019.
(Baca juga: Airlangga Jadi Ketum, Suara Golkar Bertambah dari Pendukung PDIP)
Menurut Yunarto, suara Golkar tidak naik secara signifikan karena partai tersebut tak memiliki figur yang mampu mendongkrak elektoral. Padahal, lanjutnya, perkembangan dunia politik di Indonesia akhir-akhir ini justru mengedepankan aspek figur.
"Yudhoyono dengan Demokrat, Gerindra dengan Prabowo Subianto, Joko Widodo sebagai magnet elektoral baru di PDIP. Golkar tidak pernah punya itu," kata Yunarto.
Airlangga disebutnya tak menjadi magnet elektoral karena tak diposisikan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Ini berbeda dengan beberapa partai lainnya seperti Demokrat, PDIP, maupun Gerindra.
Hal ini membuat Golkar kehilangan efek ekor jas (coat tail effect) yang biasanya mengasosiasikan seorang figur yang maju dalam pemilu dengan partai pengusung utamanya. "Ketika hanya jadi pengekor, kecenderungan partai tersebut menjadi besar dalam Pilpres atau Pileg akan sulit tercapai," kata dia.
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menambahkan, pemberian dukungan Golkar dengan Jokowi akan sulit memberikan limpahan suara yang besar. Alasannya, Jokowi saat ini sudah lekat diasosiasikan dengan PDIP.
Selain itu, Golkar juga harus bertarung dengan beberapa partai pengusung Jokowi lainnya seperti Nasdem, PPP, Hanura, dan Perindo. "Ketika semua asosiasi dengan Jokowi, saya khawatir agak sulit Golkar melengketkan diri dengan Jokowi," kata dia.
Karenanya, Qodari menilai Golkar hanya akan berkompetisi dengan Gerindra untuk menempati posisi kedua dalam perolehan elektabilitas. Saat ini, elektabilitas Golkar dan Gerindra hanya terpaut tipis.
(Baca: Resmi Ketua Umum, Airlangga Targetkan Elektabilitas Golkar 16%)
Survei Charta Politika pada Januari 2018 menyebutkan elektabilitas Gerindra sebesar 9,3%. Pada bulan yang sama, Indo Barometer menyatakan bahwa elektabilitas Gerindra sebesar 12,9%. Adapun, survei Populi Center pada Februari 2018 menunjukkan elektabilitas Gerindra sebesar 10,2%.
"Golkar peluang terbaiknya adalah menjadi nomor dua atau nomor tiga. Persaingannya hari ini Golkar melawan Gerindra," kata Qodari.
Meski demikian, Golkar dinilai masih punya peluang untuk mendongkrak naik elektabilitasnya. Yunarto menilai hal tersebut dapat dilakukan dengan menawarkan Airlangga menjadi cawapres pendamping Jokowi. "Kalau Airlangga jadi cawapres peluangnya besar untuk mendongkrak suara Golkar naik," kata Yunarto.
Senada, Qodari menyebutkan Golkar harus mampu melahirkan tokoh baru yang dianggap punya kaliber nasional. Hanya saja, Qodari menilai hal tersebut harus dimunculkan dengan jumlah banyak dan bersamaan.
"Golkar di eksekutif ada Pak AIrlangga, ada Menteri Sosial Idrus Marham, ada Ketua DPR Bambang Soesatyo. Jadi tokoh Golkar harus muncul bersamaan supaya meningkatkan elektabilitas Golkar di pilpres 2019," kata Qodari.
Selain itu, Golkar juga harus memaksimalkan jaringannya di daerah untuk bisa menggaet suara pemilih mengambang saat ini. Menurut Qodari, masih ada 27% pemilih yang belum menentukan pilihannya pada Pilpres 2019.
"Peluang masih sangat besar setahun sebelum pencoblosan 25-27% yang belum memilih," kata dia.
(Baca: Terpilih Jadi Ketua Golkar, Airlangga Tegaskan Dukung Jokowi di 2019)
Golkar juga harus dapat membuat program untuk menjangkau para pemilih dengan mesin politiknya yang dinilai cukup besar. Selain itu, Golkar harus mampu memilih calon anggota legislatif yang tepat untuk mendongkrak suaranya nanti.
"Para (caleg) inkumben ini ditaruh di nomor satu atau dua, supaya dia kerja habis-habisan. Inkumben ini kan kapasitas mesin politiknya paling besar," kata dia.
Menanggapi hal tersebut, Airlangga menilai Golkar masih punya waktu setahun untuk bisa mendongkrak elektabilitasnya. Menurutnya, Golkar telah menjalankan rekomendasi yang mampu mendongkrak elektabilitas partai berlambang beringin itu.
"Sekarang (Rakernas) dengan daerah-daerah sehingga nanti di provinsi akan turun lagi ke bawah. Jadi kami sudah tahu pertama terkait jaringan. Kemudian terkait program, kami punya program sembako murah, lapangan pekerjaan, perumahan rakyat, dan digital ekonomi atau revolusi industri keempat," kata dia.