Kepolisian RI (Polri) menyebut edaran red notice untuk memburu mantan Direktur Utama PT Trans Pacific Petrochemicals Indotama (TPPI) Honggo Wendratno telah diterbitkan. Honggo merupakan tersangka dalam kasus korupsi kondensat yang merugikan negara hingga Rp 38 triliun.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan, red notice tersebut telah diterbitkan oleh Interpol di 193 negara. Melalui red notice, Polri meminta bantuan negara anggota Interpol untuk menangkap dan memulangkan tersangka ke Indonesia.
"Iya betul (red notice terbit di 193 negara)," kata Martinus ketika dihubungi Katadata, Rabu (31/1).
Martinus mengatakan, red notice terbit setelah Polri menerbitkan edaran Daftar Pencarian Orang (DPO). Edaran DPO Honggo diterbitkan dengan Nomor B/04/1/2018/Dit Tipideksus pada Jumat (26/1) lalu.
DPO diterbitkan karena Honggo telah tiga kali tak menghadiri pemanggilan semenjak berkas perkaranya dinyatakan lengkap. Honggo merupakan tersangka kasus korupsi kondensat bersama mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas, sekarang SKK Migas) Raden Priyono dan bekas Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono.
Ketiganya dijerat Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Honggo diketahui tak pernah lagi berada di kediamannya setelah menjalani perawatan pascaoperasi jantung di Singapura pada 2015. "Polri tidak menerbitkan red notice, tapi menerbitkan DPO," kata Martinus.
Meski red notice sudah diterbitkan, keberadaan Honggo belum diketahui. Walau ditengarai berada di Singapura, hasil koordinasi dengan kepolisian, imigrasi serta otoritas bandara setempat masih nihil hasil.
Kasus yang menjerat Honggo dan dua tersangka lain bermula ketika BP Migas pada 2009 menunjuk langsung TPPI dalam penjualan kondensat bagian negara. Hal tersebut dianggap melanggar keputusan BP Migas tentang pedoman penunjukan penjual minyak mentah karena TPPI tidak memiliki kapabilitas pengelolaan kondensat.
Selain itu, TPPI juga dianggap melanggar hukum dengan mengambil kondensat bagian negara sebelum adanya kontrak dengan BP Migas. Pasalnya, kontrak tersebut baru dibuat 11 bulan setelahnya dengan masa berlaku yang dibuat mundur 11 bulan sebelumnya.
TPPI juga dianggap melakukan pelanggaran dengan menjual kondensat. Seharusnya, kondensat tersebut diolah sebagai bahan bakar minyak menjadi gas elpiji.