ICW Catat Sepuluh Potensi Korupsi di Pilkada Serentak 2018

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Pilkada DKI Jakarta 2017.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
11/1/2018, 20.05 WIB

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada sepuluh potensi korupsi yang akan terjadi dalam Pilkada Serentak 2018. Sepuluh permasalahan ini dinilai menjadi masalah laten yang kerap terjadi sejak Pilkada Serentak digelar pada 2015.

"Demokrasi pasang surut, tapi persoalannya konstan. Apa yang terjadi pada pilkada sebelumnya itu berpotensi menjadi pengulangan masalah," kata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz di sekretariat ICW, Jakarta, Kamis (11/1).

Donal mengatakan, potensi pertama yang muncul yakni adanya jual beli pencalonan (candidacy buying) antara kandidat dan partai politik. Menurut Donal, terdapat potensi bakal calon kepala daerah dimintai mahar politik agar bisa dipinang melenggang dalam kontestasi Pilkada.

(Baca: Survei BPS: Makin Banyak Masyarakat Menolak Politik Uang Saat Pilkada)

Nilai mahar politik tersebut bahkan bisa mencapai Rp 20 miliar. Kendati, masalah ini kerap tak diakui baik oleh bakal calon maupun partai politik karena dianggap akan merusak lobi yang telah dilakukan.

"Padahal masalah ini sangat krusial, tapi KPK dan Bawaslu belum bisa memproses mahar politik," kata Donal.

Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Almas Sjafrina mengatakan, terjadinya mahar politik ini kemudian berpotensi menimbulkan masalah kedua, yakni fenomena calon tunggal. Pasalnya, bakal calon kepala daerah bisa saja memberikan mahar agar partai politik tertentu dapat mendukungnya.

KPU pada 10 Januari 2018 mengumumkan terdapat 19 daerah dengan calon tunggal. Tiga dari empat kabupaten/kota yang akan menggelar Pilkada di Banten bahkan memiliki calon tunggal. "Sekarang belum ada cerita kotak kosong bisa mengalahkan calon tunggal," kata Almas.

(Baca juga: Indeks Perilaku Anti Korupsi Membaik, Praktik Calo Makin Dijauhi)

Selain itu, mahar politik juga dapat berdampak pada membengkaknya biaya kampanye Pilkada. Pasalnya, terjadi pergeseran akibat diberikannya subsidi negara kepada calon kepala daerah.

Selain itu, batasan sumbangan dana kampanye bagi calon kepala daerah juga dinaikkan Calon kepala daerah juga dibolehkan memberikan barang seharga maksimal Rp 25 ribu kepada pemilih. "Dana kampanye bahkan jadi lebih mahal," kata Almas.

Tingginya biaya ini memunculkan masalah keempat yakni pengumpulan modal ilegal melalui jual beli izin usaha, jual beli jabatan, dan suap proyek. Selain itu, calon kepala daerah juga dapat mempolitisasi program pemerintah seperti dana hibah, bantuan sosial, dana desa, dan anggaran rawan lainnya untuk kampanye.

"Contohnya, praktik korupsi inkumben mencari sumber pendanaan dari kewenangan yang mereka miliki. Demokrasi yang brkembang secara prosedural belum dikuatkan dengan demokrasi substansial," kata Donal.

Masalah keenam terjadi karena munculnya politisasi birokrasi dan pejabat negara untuk memenangkan calon kepala daerah tertentu dalam Pilkada. Selain itu, muncul pula masalah politik uang untuk jual beli suara pemilih.

Pengamat politik Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan, politik uang muncul karena calon kepala daerah percaya pada mitos hal tersebut dapat memenangkan Pilkada. "Padahal ini belum tentu berdampak signifikan," kata Yunarto.

Masalah kedelapan yang berpotensi muncul adalah terjadinya manipulasi laporan dana kampanye. Selain itu, potensi lain yang muncul adalah dilakukannya suap kepada penyelenggara pemilu.

"Lalu munculnya nama bermasalah, nama mantan narapidana kasus korupsi, dan dinasti politik," kata Donal. (Baca: Survei LSI: Semakin Religius Seseorang Tak Menjamin Bebas Korupsi)