Rencana Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengalokasikan gas dari Blok Masela untuk industri petrokimia, tampaknya tidak bakal terwujud. Inpex Corporation selaku operator Blok Masela, menganggap gas yang dihasilkan dari blok di Laut Arafura itu tidak bisa menghidupkan industri petrokimia.
Berdasarkan hasil studi laboratorium, Juru bicara Inpex Usman Slamet mengatakan, karakteristik gas di Lapangan Abadi, Blok Masela, berbeda dengan gas di wilayah lain. Jenis gasnya adalah lean atau minyak miskin, bukan wet atau jenis gas basah. (Baca: Proyek Masela Mundur, Rizal Ramli Minta Inpex Tak Setir Negara)
Rantai gas yang ada di Blok Masela juga hanya Metana (C1), Ethana (C2), Propana ( C3). Bahkan, C1 hanya di atas 85 persen. Dengan karakteristik tersebut, menurut Usman, gas Masela hanya bisa dibikin urea dan amoniak. Tidak bisa parafin dan olefin.
“Tidak bisa untuk petrokimia. Mau dipaksa juga tidak bisa. Dia (Rizal Ramli) jual mimpi banget,” kata Usman saat berbincang dengan beberapa wartawan di Jakarta, Rabu (13/7).
Usman juga mengatakan, jika gas tersebut untuk industri petrokimia malah akan menurunkan pendapatan dibandingkan dijual dalam bentuk gas alam cair (LNG). Alasannya, harga LNG lebih mahal dibandingkan produk industri petrokimia seperti methanol.
Apalagi, menurut Usman, Indonesia sudah kelebihan pasokan methanol. Bahkan, Indonesia merupakan eksportir terbesar produk tersebut.
Di sisi lain, jika ingin mengalokasikan gas untuk industri petrokimia maka harus membangun pabrik terlebih dahulu.
“Yang bangun siapa? Investasinya siapa? Dia (Rizal Ramli) kan cuma menghitung seolah-olah ada revenue kan,” kata Usman.
Sedangkan tanpa mengalokasikan gas untuk industri petrokimia, Usman menilai, Proyek Masela akan tetap memberikan manfaat. Gas yang diolah menjadi LNG ini dapat didistribusikan ke daerah atau kepulauan lain sebagai sumber energi.
Untuk sisi hilir, pemerintah juga bisa membangun regasifikasi. Alhasil, gas dari Blok Masela bisa digunakan oleh sentra-sentra perikanan di daerah Maluku untuk cold storage. “Yang regasifikasi bisa mendukung apa maunya Susi Pudjiastuti (Menteri Perikanan),” ujar dia.
Rizal Ramli belum menanggapi pernyataan dari pihak Inpex tersebut. Hingga berita ini ditulis, dia tidak membalas pesan yang dikirimkan Katadata melalui aplikasi WhatsApp. (Baca: Ini Tantangan Rizal Ramli untuk Operator Blok Masela)
Sedangkan saat rapat koordinasi percepatan pembangunan Proyek Masela di kantor Kemenko Kemaritiman, 11 Mei lalu, Rizal mengatakan, ada beberapa skenario pemanfaatan gas Masela. Pertama, masa produksi Blok Masela bisa mencapai 71 tahun dengan catatan 541 juta kaki kubik per hari (mmscfd) gas akan digunakan untuk LNG, 300 mmscfd untuk industri petrokimia, dan 60 mmmscfd CNG.
Dengan asumsi harga minyak US$ 60 per barel dan harga gas US$ 6 per mmbtu, tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) bisa mencapai 16,45 persen.
Skenario kedua, masa produksi akan lebih pendek yakni hanya 47 tahun. Sebab, volume gas untuk petrokimia dinaikkan menjadi 700 mmscfd, sementara alokasi untuk industri lain masih sama dengan skenario pertama. Dengan asumsi harga migas sama dengan skenario pertama, IRR masa produksi 47 tahun akan lebih besar yakni 21,42 persen.
Dengan memanfaatkan gas tersebut ke beberapa industri, Rizal mengklaim keuntungan yang diperoleh akan lebih besar dibandingkan pengolahannya hanya di kilang LNG dan langsung menjualnya. Jika produksi gas sebanyak 1.200 mmscfd atau 7,5 juta ton per tahun itu langsung diolah di kilang LNG dengan asumsi harga US$ 7,2 per mmbtu maka pendapatan dari blok itu hanya US$ 2,52 miliar per tahun.
Sementara kalau gas tersebut dimanfaatkan untuk industri seperti petrokimia, dapat menghasilkan pendapatan US$ 6,5 miliar per tahun. (Baca: Bentuk Komite, Pemerintah Godok Opsi Pengembangan Masela)
Rizal berharap gas tersebut dapat mengalir ke industri-industri di daerah Maluku. Kementerian Perindustrian mencatat, kebutuhan gas di Maluku mencapai 206,5 mmscfd. Rinciannya untuk industri petrokimia 165 mmscfd, industri keramik 23 mmscfd, industri kaca 16 mmscfd, dan industri rumput laut 2,5 mmscfd.