Pembangunan jaringan distribusi dan infrastuktur gas bumi di Indonesia membutuhkan investasi sangat besar. Sementara tingkat pengembalian investasinya tergolong kecil sehingga kurang diminati oleh investor maupun perusahaan swasta. Padahal, ketersediaan infrastruktur gas selama ini menjadi masalah utama penyerapan gas di dalam negeri.
Komisaris Utama PT Medco Energi Internasional Tbk Muhammad Lutfi menghitung, investasi yang dibutuhkan untuk membangun jaringan distribusi dan infrastruktur gas di Indonesia berkisar US$ 42 miliar atau setara dengan Rp 562,8 triliun. Lantaran membutuhkan dana yang jumbo, tingkat pengembalian investasinya pun harus besar.
Ia menaksir, Invesment Rate of Return (IRR) proyek infrastruktur gas harus di atas 20 persen. Kalau di bawah itu, Lutfi menyebut tidak ada perusahaan yang sanggup membiayainya. "Proyek itu akan menarik kalau IRR 20 persen. Kalau bisa segitu, akan banyak yang investasi," katanya saat berbicara dalam forum “The 40th IPA Convention and Exhibition” di Jakarta, Kamis (26/5).
Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Trader Gas Alam Indonesia (INGTA) Sabrun Jamil Amperawan sependapat dengan pandangan Lutfi. Menurut dia, tingkat pengembalian investasi pembangunan infrastruktur gas sebesar 20 persen merupakan batasan wajar dalam berinvestasi.
(Baca: Penerbitan Aturan Tata Kelola Gas Bisa Molor Hingga 2016)
Pemerintah memang berharap pihak swasta membantu pembangunan jaringan pipa dan terminal penerimaan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) untuk menyerap gas di dalam negeri. Selain itu, pemerintah pada tahun ini berencana menambah pipa yang dapat digunakan secara bersama menjadi 6.153 kilometer (km), dari sebelumnya 4.165 km. Tidak hanya itu, pemerintah akan menambah pipa khusus untuk hilir meningkat dari 4.337 km menjadi 9.177 km.
Sementara itu, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 06 tahun 2016 tentang tata cara penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi yang diterbitkan Februari lalu, mewajibkan badan usaha yang mendapatkan alokasi gas bumi memiliki atau menguasai infrastruktur fasilitas penyaluran dan penggunaan gas.
Meski begitu, pemerintah memberikan tenggang waktu kepada para badan usaha yang belum memiliki infrastruktur gas untuk membangunnya. Alternatifnya membangun pipa bersama. Misalnya, jika dalam satu pipa sepanjang 10 km ada lima badan usaha yang memanfaatkan itu, maka lebih baik kelima badan usaha tersebut bekerjasama membangun jaringan pipa gas. Dengan begitu biaya yang dikeluarkan akan lebih murah.
(Baca: Swasta Dapat Izin Jual Gas Bumi Asalkan Punya Infrastruktur)
Selain soal infrastruktur gas, pemerintah memperbaiki tata kelola gas dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2016 tentang ketetapan harga gas bumi. Dalam beleid yang dirilis bulan Mei tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempertimbangkan empat faktor dalam menentukan harga gas bumi.
Pertama, keekonomian lapangan. Kedua, harga gas bumi di dalam negeri dan internasional. Ketiga, kemampuan daya beli konsumen gas bumi dalam negeri. Keempat, nilai tambah dari pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.
Jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri penggunanya, dan lebih tinggi dari US$ 6 per juta british thermal unit (mmbtu), maka Kementerian ESDM dapat menurunkan harga gas bumi. Ada beberapa pengguna gas bumi yang dapat menikmati harga diskon itu, yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.
(Baca: Aturan Alokasi Gas Bisa Membuka Peluang Makelar Berburu Rente)
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja mengklaim, Perpres itu dapat memberi stimulus bagi usaha hilir tanpa membebani usaha di sektor hulu gas. Bahkan, pemerintah rela untuk mengurangi porsi bagi hasil pemerintah dalam pengelolaan gas di sektor hulu. Regulasi baru itu juga bertujuan menyelaraskan harga gas di masing-masing daerah. “Harga tidak harus sama persis, tapi mendekati," katanya.
Menurut Sabrun, lonjakan harga gas selama ini di beberapa daerah memang membuat para pedagang gas kehilangan konsumennya. Tahun lalu, rata-rata penurunan konsumen para anggota INGTA mencapai 20-30 persen.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis Perusahaan Gas Negara (PGN) Muhammad Wahid Sutopo mengatakan pemerintah harus punya konsep tata kelola gas bumi nasional. Salah satunya dengan membentuk Badan Penyangga Gas.
Menurutnya, ada tiga faktor yang harus diperhatikan pemerintah dalam merealisasikan badan tersebut. Pertama, gambaran dari sisi pasokan dan pengaturan sumber gas. Kedua, kesiapan infrastruktur dan transportasi gas. Ketiga, peta jalan menyiapkan permintaan gas yang berkelanjutan.