Menteri BUMN Rini Soemarno menyatakan tengah mempelajari kasus hukum yang membelit Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk Hendi Prio Santoso. Hal ini terkait dengan status Hendi yang dicekal untuk bepergian ke luar negeri oleh Kejaksaan Agung sejak April lalu.
“Saya sedang cek (status cekal Hendi),” kata Rini di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta. Jumat (13/5). Ia mengaku belum mendapatkan laporan yang mendetail perihal kasus hukum yang tengah menimpa bos PGN tersebut. “Apa penyebabnya (cekal), apa untuk saksi atau segala macamnya. Jadi saya sedang mempelajari.”
Lantaran belum mengetahui duduk soalnya secara lengkap, Rini belum bisa menentukan sikap Kementerian BUMN termasuk kemungkinan mencopot Hendi dari kursi Dirut PGN. “Kami lihat saja dasarnya (cekal) apa nanti. Kan tidak bisa sembarangan begitu saja (mencopot orang), harus dilihat dengan baik,” katanya.
Meski begitu, Rini mengaku Kementerian BUMN berencana melakukan sejumlah perombakan di jajaran pengurus perusahaan BUMN sektor energi, termasuk PGN. Hal ini terkait dengan rencana pembentukan induk usaha (holding) BUMN energi, yang menjadikan PT Pertamina (Persero) sebagai induk usaha dan PGN sebagai anak usaha holding tersebut. “PGN sedang dalam proses menjadi bagian dari Pertamina. Tentunya semua nantinya kami akan ada perombakan-perombakan.”
(Baca: Menteri BUMN Enggan Campuri soal Mangkraknya Fasilitas Gas PGN)
Sebelumnya, Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Fadil Djumhana menyatakan pihaknya telah mencegah Hendi bepergian ke luar negeri untuk menghindari kemungkinan menghilangkan barang bukti. “Sudah dicegah sejak April lalu,” katanya, seperti dikutip Kontan, Rabu (11/5).
Keputusan itu diduga terkait dengan penyelidikan Kejagung atas dugaan penyimpangan pembangunan dan operasional fasilitas penyimpanan gas dan regasifikasi atau Floating Storage Regasification Unit (FSRU) milik PGN di Lampung. Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah mengatakan, kasus ini sudah naik ke tahap penyidikan meski belum ada tersangkanya.
(Baca: Tujuh Bulan Mangkrak, Regasifikasi Terapung PGN di Lampung Beroperasi Lagi)
Namun, saat dikonfirmasi, Hendi masih enggan menjelaskan kasus yang menimpanya tersebut. “Saya masih no comment soal itu,” ujarnya saat ditemui di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (11/5).
Kasus ini semula dilaporkan oleh Energy Watch Indonesia. Seperti diketahui, proyek FSRU Lampung ini rampung pada 2014. Sejak itu, PGN mulai menjual gas yang dihasilkan dari fasilitas tersebut kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik Muara Tawar di Bekasi.
Volume penjualannya sebesar 40,5 juta kaki kubik gas per hari (MMSCFD) dengan harga US$ 18 per MMBTU, Namun, kontrak jual-beli gas tersebut nyatanya terhenti sejak Januari lalu. Meski mangkrak, PGN terus membayar biaya operasional fasilitas tersebut sehingga dinikai telah menimbulkan kerugian negara.
(Baca: Kesepakatan Harga Belum Selesai, FSRU Lampung Mangkrak)
Selain itu, Energy Watch Indonesia menilai investasi menara sandar kapal di FSRU Lampung senilai US$ 100 juta ini terlalu mahal. Begitu juga dengan pembangunan jaringan pipa lepas pantai sepanjang 30 hingga 50 kilometer dari fasilitas ini ke jaringan transmisi Sumatera Selatan-Jawa Barat dan fasilitas penjualan pendukung lainnya sebesar US$ 150 juta.