Harga minyak dunia dalam dua bulan terakhir ini terus menunjukkan tren kenaikan. Meski begitu, para analis dan pengamat meramal, tren kenaikan itu hanya bersifat sementara dan harga minyak masih sulit menyentuh level US$ 50 per barel.

Pada penutupan perdagangan di bursa kontrak komoditas ICE, Eropa, Jumat pekan lalu (29/4), harga minyak jenis Brent Crude bertengger di level US$ 48,12 per barel. Ini merupakan harga tertinggi minyak Brent dalam hampir enam bulan terakhir atau sejak awal November tahun lalu. Jika dihitung sejak 20 Januari lalu saat harga minyak jatuh ke level terendahnya sebesar US$ 27,88 per barel, maka besaran kenaikannya mencapai 72,6 persen.

Begitu pula dengan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) di bursa NYMEX, Amerika Serikat (AS), yang mencetak rekor tertinggi dalam enam bulan terakhir yaitu sebesar US$ 46,03 per barel pada 28 April lalu. Meskipun dalam dua hari terakhir, harga minyak dunia cenderung terkoreksi. Pada Selasa lalu (3/5), harga minyak Brent sebesar US$ 45,46 per barel, sedangkan harga minyak jenis WTI US$ 44,41 per barel.

Kondisi ini menerbitkan harapan bagi para produsen bahwa harga minyak akan terus menggeliat naik seiring dengan peningkatan permintaan dan pemulihan ekonomi dunia. Salah satu alasannya, menurut Chief Executive Officer Total SA, Patrick Pouyanne, pemotongan investasi di sektor hulu migas belakangan ini akan menimbulkan kekurangan pasokan minyak di masa depan.

(Baca: Permintaan Tinggi, Harga Minyak Indonesia April Naik US$ 3 per Barel)

Pendapat tersebut juga diamini oleh Fatih Birol, Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA), dengan mengacu kepada hasil riset Wood Mackenzie Ltd. pada Februari lalu. Perusahaan konsultan industri ini menghitung nilai investasi untuk eksplorasi migas yang dibatalkan atau ditunda sejak akhir 2014 sekitar US$ 400 miliar.

Penurunan harga minyak sejak kuartal keempat tahun 2014 telah berdampak besar terhadap aktivitas pengeboran di Amerika Serikat, yang berujung pada merosotnya produksi minyak. Bahkan, EIA memperkirakan jumlah rig yang beroperasi di negara-negara bagian AS terus berkurang sampai pertengahan 2016 sebelum akhirnya meningkat lagi.

Namun, sebagian kalangan meragukan kurangnya pasokan bakal terus mengerek harga minyak dalam jangka pendek dan menengah. Seperti dikutip dari Bloomberg, analis minyak di Societe Generale SA di New York, Michael Wittner, menyatakan kenaikan harga minyak WTI bulan depan akan terbatas di rentang US$ 45 hingga US$ 50 per barel.

(Baca: Banjiri Pasar Dunia, Ekspor Minyak Irak Nyaris Pecahkan Rekor)

Penyebabnya, analis dari Energy Aspect, Richard Mallinson, seperti dikutip Reuters, Selasa (3/5), menyatakan persediaan minyak dunia masih berlimpah sehingga harga minyak tetap akan tertekan. Selain itu, Kepala Analis CMC Markets di Sydney, Ric Spooner, mengingatkan risiko penguatan harga minyak ini. “Semakin tinggi harganya akan mendorong rentannya persediaan,” ujarnya.

Salah satu penyebab belum terserapnya produksi minyak dunia adalah pertumbuhan ekonomi di pasar negara-negara berkembang masih melambat. Produksi minyak mentah diperkirakan terus melampaui permintaan pasar dan belum akan mencapai titik keseimbangan hingga pertengahan tahun depan. Pada saat itulah, persediaan minyak mentah dunia akan sangat tinggi.

Produksi negara pengekspor minyak terbesar di OPEC yaitu Arab Saudi, menyentuh 10,15 juta barel per hari pada April lalu. Sejumlah sumber menyebut negara ini kemungkinan bisa menembus rekor penjualan 10,5 juta barel minyak per hari dalam beberapa pekan mendatang. (Baca: Pasokan Menyusut, Harga Minyak Indonesia Maret Naik 18 Persen)

Hasil minyak Iran juga ikut berkontribusi terhadap penguatan Timur Tengah, setelah sanksi terhadap negara tersebut dicabut pada Januari lalu. Negara penghasil minyak ini sudah menggenjot ekspornya hingga 2 juta barel per hari dari 1 juta barel per hari di awal tahun ini. Penjualan melambung tinggi, terutama untuk Korea Selatan.

Di sisi lain, kebangkitan harga minyak dalam beberapa bulan terakhir ini mendorong beberapa perusahaan migas untuk menambah produksinya. Hess Corp, yang beroperasi di daerah North Dakota, AS, misalnya, telah mengatakan akan meningkatkan aktivitas produksinya bila harga minyak naik sampai US$ 60 per barel. Adapun Pioneer Natural Resources Co, produsen minyak serpih di Texas, menyebut akan menambah rig pengeboran kalau harga minyak sudah bangkit ke level US$ 50 per barel.