Melalui peletakan batu pertama (groundbreaking), Presiden Joko Widodo akan meresmikan Proyek Tiung Biru pada pertengahan April ini. Padahal, proyek gas tersebut masih menghadapi beberapa kendala. Sebagian gas dari Lapangan Jambaran Tiung Biru di Blok Cepu belum laku terjual.
Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu (PEPC) Adriansyah mengatakan, pihaknya masih belum sepakat dengan Pupuk Kujang Cikampek (PKC) terkait harga jual gas dari Tiung Biru. PEPC mematok harga gas Tiung Biru di hulu sebesar US$ 8 eskalasi dua persen per mmbtu. Angka ini sesuai dengan proposal rencana pengembangan lapangan atau Plan of Development (PoD) yang sudah disetujui pemerintah.
Di lain pihak, Pupuk Kujang menginginkan harga yang lebih rendah, yaitu US$ 7 per mmbtu. “Masih ada selisih antara harga yang disanggupi oleh PKC dan PoD lapangan gas Tiung Biru,” kata dia saat diskusi dengan wartawan di Jakarta, Jumat (8/4).
(Baca: Pengembangan Lapangan Jambaran Disetujui, Negara Bisa Terima Rp 80 Triliun)
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Pertamina berharap pemerintah segera menerbitkan peraturan presiden mengenai harga gas. Tujuannya agar selisih harga yang diinginkan Pertamina dan PKC bisa dikompensasi oleh negara. Mengingat pemerintah akan mengurangi penerimaannya agar harga gas bisa turun.
Meski belum sepakat harga, Adriansyah menargetkan PKC dan PEPC akan melakukan kesepakatan Head of Agreement (HoA) pada 26 April nanti. Selanjutnya, Pertamina EP Cepu akan memasok gas sebesar 85 juta kaki kubik per hari (mmscfd). “Setelah itu baru tandatangan perjanjian jual-beli gas,” ujar dia. (Baca: Harga Gas Turun, Pemerintah Rela Porsi Bagi Hasil di Tiung Biru Susut)
Selain dengan Pupuk Kujang Cikampek, PEPC juga menjual gasnya kepada PT Pertamina Gas (Pertagas). Pertamina Cepu akan memasok gas sebesar 100 mmscfd. Targetnya, perjanjian jual beli gas tersebut akan diteken 27 April nanti.
Lalu, rencananya pada Juli nanti, PEPC sudah mendapatkan nama pemenang tender untuk membangun fasilitas utama (EPC) Lapangan Tiung Biru. Dengan begitu, kontraknya bisa diteken September nanti dan proses pembangunan fasilitas utama pada awal tahun depan. Saat itu, bakal dilakukan juga pengeboran enam sumur gas di Lapangan Tiung Biru.
Sekadar informasi, Lapangan Tiung Biru ditargetkan mulai berproduksi sebesar 227 juta kaki kubik per hari pada kuartal pertama 2019. Adapun puncak produksinya sebesar 315 juta kaki kubik diharapkan tercapai tahun 2020.
Kontraktor lapangan itu adalah PT Pertamina EP Cepu, PT Pertamina EP, ExxonMobil Cepu, dan Badan Kerja Sama PI (Participating Interest) Blok Cepu. Dalam revisi rencana pengembangan (plan of development/PoD) Lapangan Tiung Biru yang sudah disetujui oleh SKK Migas pada 17 Agustus 2015, porsi bagi hasil untuk negara sebesar 45,8 persen. Sedangkan 24,5 persen merupakan jatah kontraktor KKS dan 29,7 persen untuk pengembalian biaya operasi (cost recovery). (Baca: Pertamina Garap FEED Tiung Biru-Jambaran)
Dengan asumsi harga gas US$ 8 per juta BTUD maka proyeksi nilai produksi lapangan tersebut hingga kontraknya berakhir tahun 2035 mencapai US$ 12,97 miliar. Namun, pemerintah memang berencana merevisi harga gas Tiung Biru menjadi US$ 7 plus dua persen eskalasi per juta BTUD.
Dari perhitungan tersebut, porsi bagi hasil untuk negara setelah harga gas diturunkan akan menyusutmen jadi 40,2 persen. Kalau porsi bagi hasil untuk negara berkurang menjadi 40,2 persen maka potensi nilai penerimaan negara menjadi sebesar US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 74,4 triliun.