KATADATA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang menyiapkan aturan baru mengenai blok minyak dan gas bumi (migas) non konvensional. Salah satu ketentuan yang akan diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) adalah soal skema kerjasama kontrak pengusahaan blok migas.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan ada beberapa tiga skema kerjasama yang dibahas dalam Permen. Nantinya, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas non-konvensional boleh memilih salah satu dari tiga skema tersebut.
“Mereka (KKKS) yang akan pilih sendiri skema yang akan digunakan,” ujar Djoko di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Opsi skema kerja sama yang akan ditawarkan tersebut yakni, kontrak bagi hasil (PSC), net PSC sliding scale (SS) dan Gross Split Sliding Scale (SS). Sistem pengembalian biaya operasi (cost recovery) hanya ada pada skema kontrak PSC dan Net PSC SS, sedangkan pada skema Gross Split SS tidak.
Tidak ada perbedaan mengenai jangka waktu kontrak awal dari tiga skema ini, yakni 30 tahun yang terdiri dari 10 tahun masa eksplorasi dan 20 tahun masa eksploitasi. Terminasi kontrak pun otomatis setelah kontraknya berakhir.
Perbedaannya terletak pada saat perpanjangan kontrak. Pada PSC, setiap perpanjangan kontrak dilakukan maksimal 20 tahun. Untuk Net PSC SS, perpanjangan kontraknya disesuaikan dengan keekonomian wilayah kerja. Sedangkan untuk Gross Split SS, perpanjangan kontrak dibatasi satu kali selama maksimal 20 tahun.
Menurut Djoko tiga opsi tersebut diberikan agar investor tertarik untuk mengembangkan migas non konvensional, mengingat potensi yang ada sangat besar. Data Kementerian ESDM mencatat untuk gas metana batu bara (coal bed methane/CBM), cadangan yang ada yakni 453 triliun kaki kubik (TCF). Sementara potensi shale gas mencapai 575 TCF. Cadangan ini lebih besar jika dibandingkan gas konvensional yang hanya 170 TCF.
Sejak 2008 hingga saat ini sudah ada 54 blok CBM yang dikembangkan di dalam negeri, tapi yang sudah bisa produksi baru dua, yakni Sanga-Sanga dan Sangatta II. Produksinya pun hanya 0,33 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Sementara dari 5 blok shale gas, hingga saat ini masih dalam tahap eksplorasi.
"Aturan ini untuk membantu mereka juga. Kalau mengebor banyak, tapi bagiannya kurang terus kapan balik investasinya," ujar dia.
Dewan Direksi Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah menyambut baik aturan tersebut. Dia mengatakan selama skema kontrak blok migas non konvensional tidak bisa disamakan dengan migas konvensional. Seharusnya dibedakan, mengingat karakteristik usaha dari kedua sektor migas ini berbeda.
Dia mengatakan tiga opsi skema kerjasama tersebut bisa membantu investor untuk menghitung keekonomian dari proyek yang akan digarapnya. Saat ini pelaku migas sedang menunggu aturan tersebut terbit. Dia yakin jika aturan tersebut terbit maka tahun depan pengeboran blok migas non konvensional bisa dimulai.
"Industri ini jika tidak diberi insentif, tidak akan jalan," ujar dia.