KATADATA ? Sebelum terjadi krisis ekonomi 1997-1998, Indonesia pernah mengalami defisit neraca transaksi berjalan yang berkepanjangan. Tidak tanggung-tanggung selama 17 tahun, yakni antara 1981-1997. Namun pemerintahan Orde Baru ketika itu masih optimistis dengan perekonomiannya karena Indonesia masih menjadi eksportir minyak.
Neraca perdagangan minyak Indonesia pada saat itu masih mencatatkan surplus. Ini disebabkan pemerintah mampu menjaga stabilitas impor minyak dengan melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) secara berkala.
Dengan rezim pemerintahan yang otoriter tidak ada tantangan berarti bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan menaikkan harga BBM. Setiap kali ada gejolak harga minyak internasional dan gejala resesi dunia, pemerintah buru-buru menaikkan harga BBM. Bahkan harga BBM pada pemerintahan Soeharto jauh lebih tinggi dari harga minyak mentah di pasar internasional. Alhasil neraca perdagangan minyak masih mengalami surplus meskipun nilai ekspor terus menurun.
Data Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, antara 1981-1990 nilai ekspor minyak Indonesia rata-rata turun 7 persen per tahun. Sementara nilai impornya meningkat rata-rata 4 persen per tahun. Adapun defisit neraca transaksi berjalan naik rata-rata 18 per tahun.
Pada dekade 1980-an, nilai impor minyak Indonesia rata-rata sebesar US$ 2,14 miliar per tahun. Sementara pada dekade 1990-an, nilai impor minyak Indonesia meningkat drastis hampir dua kali lipat menjadi rata-rata US$ 3,8 miliar. Adapun yang tertinggi terjadi pada 1996 dan 1997 masing-masing sebesar US$ 4,6 miliar dan US$ 4,4 miliar.
Di sisi lain, nilai ekspor minyak Indonesia justru turun dari rata-rata US$ 10,24 miliar per tahun pada dekade 1980-an menjadi US$ 6,28 miliar per tahun pada era 1990-an.
Terus naiknya harga minyak di pasar internasional pada era 2000-an, sebetulnya menaikkan nilai ekspor minyak Indonesia. Namun tingkat produksinya yang terus turun tidak mampu mengimbangi permintaan impor.
Tercatat sejak 2004, Indonesia merupakan pengimpor minyak bersih dan memutuskan keluar dari keanggotaan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada 2008.
Selama periode 2001-2012, nilai ekspor minyak Indonesia rata-rata sebesar US$ 11,73 miliar atau tumbuh 8 persen per tahun. Sementara nilai impornya mencapai rata-rata US$ 18,29 miliar atau mengalami kenaikan rata-rata hingga 18 persen per tahun. Pada 2012, nilai impor minyak Indonesia mencapai US$ 38,02 miliar naik 850 persen dari nilai impor pada 1999.
Situasi sosial politik yang berubah sejak 1998, menyebabkan pemerintah mesti berhati-hati untuk menaikkan harga BBM karena memiliki dampak politis yang besar. Pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid dua kali menunda pengumuman kenaikan harga BBM. Presiden Megawati enggan menaikkan harga minyak pada 2004 meski harga internasional terus merangkak naik karena menjelang pemilu.
Sementara Presiden Yudhoyono buru-buru menurunkan harga minyak hingga tiga kali pada akhir 2008 karena mendekati masa pemilu. Penurunan ini yang menyebabkan kenaikan beban impor tidak tertanggungkan. Pemerintah baru menaikkan harga BBM pada Juni 2013.
Implikasinya, sejak kuartal IV-2011 neraca transaksi berjalan Indonesia tercatat negatif, ditambah lagi nilai ekspor nonmigas Indonesia juga mengalami penurunan. Sejumlah pihak mengatakan Indonesia tengah diambang krisis ekonomi.
Reporter: Aria W. Yudhistira