BI Khawatir 35 Ribu Orang Punya Lebih dari 1 KPR

Arief Kamaludin | KATADATA
KATADATA | Agung Samosir
Penulis:
Editor: Arsip
26/9/2013, 00.00 WIB

KATADATA ? Bank Indonesia mencatat sebanyak 35 ribu debitor memiliki fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) lebih dari satu pada April 2013. Bahkan, hampir seribu atau tepatnya 947 debitur memiliki 9 - 12 kredit pemilikan rumah.

Tingginya masyarakat yang memiliki fasilitas KPR lebih dari satu tersebut mendorong BI mengubah aturan mengenai pemberian maksimal kredit atau loan to value (LTV) untuk kredit properti. Alasannya, banyaknya masyarakat yang memiliki lebih dari satu fasilitas KPR dikhawatirkan dapat memicu instabilitas keuangan bila terjadi "gagal bayar" dalam memanfaatkan pinjaman perbankan dalam membeli rumah.

Baki debet untuk penyaluran kredit KPR untuk 35 ribu nasabah tersebut mencapai Rp 31,8 triliun. Angka itu merupakan 12,4 persen dari total penyaluran KPR sebesar Rp 257,6 triliun pada April 2013. Baki Debet adalah saldo pokok dari plafon pinjaman yang telah disepakati dalam perjanjian kredit dan biasanya akan berkurang jika angsuran rutin dilakukan atau sesuai jadwal pembayaran oleh debitur.

Dari angka itu, sebanyak 31 ribu debitur memiliki dua fasilitas KPR. Untuk pemilik 3-6 fasilitas KPR sebanyak 2.973 debitur. Hampir 1000 orang memiliki 9-12 KPR, dan lima debitur bahkan memiliki KPR hingga 15-18 KPR (Lihat gambar). Nasabah yang memiliki banyak fasilitas KPR itu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Seperti diketahui BI menyempurnakan aturan pemberian maksimal kredit atau LTV untuk kredit properti. Bagi debitur yang memiliki kredit properti lebih dari satu, akan dikenakan uang muka lebih besar dibanding sebelumnya. 

Ketentuan LTV maksimal bagi KPR sejatinya telah berlaku sejak 15 Juni 2012. Namun pertumbuhan KPR untuk tipe rumah di atas 70 dan flat/apartemen di atas tipe 70 masih tinggi, yaitu masing-masing mencapai 25,9 persen dan 60,3 persen pada Mei 2013.

Menurut catatan BI, pangsa KPR terbesar adalah KPR untuk tipe rumah 22-70 (41,7 persen), dilanjutkan KPR tipe di atas 70 yaitu sebesar 37,4 persen. Pertumbuhan kredit properti paling tinggi, yaitu kredit untuk apartemen untuk tipe sampai dengan 70 yang mencapai lebih dari 100 persen pada Mei 2013. Sedangkan apartemen di atas tipe 70 mencapai 60,3 persen. Sedangkan KPR tipe di atas 70 mencapai 45,1 persen (April 2013) dan 25,9 persen pada Mei 2013.

Bahkan pertumbuhan kredit untuk apartemen tipe 22-70 mencapai 317,3 persen pada Januari 2011, lalu kemudian menurun kendati angkanya masih tinggi menjadi tumbuh 111,1 persen pada Mei 2013. Dalam survei yang dilakukan BI pada Mei 2013, sebanyak 5 persen responden menggunakan kredit multiguna untuk pembelian atau tambahan pembelian rumah. Dari 1.409 responden, sebanyak 638 rumah tangga memiliki kredit multiguna.

Tingginya pertumbuhan KPR itu dibarengi dengan tingginya indeks harga properti residensial, yaitu 11,2 persen pada kuartal I/2013. Kenaikan harga tertinggi terjadi pada harga rumah kecil (luas kurang lebih 36 meter persegi). Bahkan di beberapa lokasi, kenaikan harga properti residensial lebih tinggi.

"Kenaikan harga rumah di atas Rp 1 miliar sangat tinggi. Hal itu akan mengerek harga rumah di bawah itu. Dikhawatirkan masyarakat yang benar-benar butuh rumah akan kesulitan karena harganya tak terjangkau," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Johansyah.

Kenaikan harga yang tinggi itu didorong tingginya permintaan terhadap perumahan, baik untuk rumah tinggal maupun investasi. Kenaikan harga yang membumbung tinggi ini dikhawatirkan dapat menjadi pemicu instabilitas keuangan bila terjadi "gagal bayar" oleh masyarakat yang memanfaatkan jasa lembaga keuangan sebagai sumber financing dalam pembelian rumahnya. "Faktanya orang tahu bahwa properti akan bubble ketika itu sudah terjadi. BI Hanya bisa membuat peraturan yang membatasi eksposure bank agar lebih berhati-hati. Kita berharap aturan ini bank lebih berhati-hati di sektor properti," ujarnya.

Reporter: Nur Farida Ahniar