Antropolog Sebut Masyarakat Indonesia Sulit Adopsi Protokol Jaga Jarak

ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj.
Rambu "Jogo Jarak" terpasang di halte bus di Jalan Panglima Sudirman, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (6/6/2020). Ahli Antropologi menyebut masyarakat Indonesia masih sulit menerapkan protokol jaga jarak selama pandemi corona.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ekarina
23/6/2020, 19.18 WIB

Sekretaris Jenderal Asosiasi Antropologi Indonesia Dian Rosdiana menilai upaya mengubah perilaku masyarakat Indonesia untuk merapkan protokol jaga jarak cukup sulit dilakukan. Padahal, langkah ini dinilai penting untuk mencegah penularan virus corona.

“Kalau kita berpijak pada tiga perilaku, yaitu jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan pakai sabun. Hal yang paling sulit akan diadopsi itu yang pertama, yakni jaga jarak,” kata Dian dalam diskusi virtual, Selasa (23/6).

Menurut Dian, perilaku jaga jarak sulit diterapkan karena masyarakat Indonesia sudah memiliki budaya kekeluargaan dan kedekatan sejak dulu kala. Kedua budaya tersebut telah mengakar dalam kebiasaan masyarakat Indonesia sehari-hari.

(Baca: Pemerintah Melihat Warga Kurang Disiplin untuk Jaga Jarak saat CFD)

Untuk bisa mengadopsi perilaku jaga jarak di tengah masyarakat, pemerintah usaha keras dan membutuhkan waktu yang tak sebentar. “Untuk mengadopsi jaga jarak itu membutuhkan waktu,” kata Dian.

Oleh karena itu, menurutnya pemerintah harus terus mensosialisasikan penerapan jaga jarak kepada masyarakat melalui pendekatan komunikasi interpersonal.

Menurut Dian, pemerintah akan sulit mensosialisasikan penerapan jaga jarak jika hanya dikomunikasin melalui media massa. Sebab, media massa dinilai kurang mampu membangun kedekatan emosional dengan masyarakat sebagaimana melalui komunikasi interpersonal.

Selain itu, media massa tak bisa menyesuaikan informasi yang disampaikan dengan konteks lokal di tengah masyarakat. “Kita jangan lupa komunikasi interpersobal itu lebih diperhatikan juga dalam melokalisasi protokol nasional, strategi, dan aturan yang menganjutkan perilaku itu,” katanya.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona Achmad Yurianto sebelumnya menginginkan masyarakat untuk bisa mengubah gaya hidupnya saat penerapan tatanan normal baru. Menurut Yurianto, masyarakat nantinya harus memiliki gaya hidup yang mengacu pada protokol kesehatan, termasuk jaga jarak. 

(Baca: Uji 17.908 Spesimen Sehari, Kasus Corona RI Bertambah 1.051 Orang)

Menurut Yurianto, perubahan gaya hidup ini diperlukan agar masyarakat nantinya bisa kembali beraktivitas, namun tetap sehat dan tidak tertular corona. “Kita harus ubah yang dulu kita anggap biasa menjadi normal baru,” ujarnya.

Terlebih, hingga saat ini kasus penyebaran virus corona masih mencatat penambahan di Indonesia. Pemerintah melaporkan kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 1.051 kasus pada Selasa (23/6).

Dengan begitu, total kasusnya menjadi 47.896 kasus. Sebanyak 19.241 orang di antaranya telah dinyatakan sembuh (40.17%) dan 2.535 orang meninggal dunia (5.29%), sementara sisanya masih menjalani perawatan seperti yang dilihat dalam databoks berikut ini:

Reporter: Dimas Jarot Bayu