Seberapa Ampuh Gaji ke-13 ASN Memacu Konsumsi saat Pandemi Covid-19?
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) segera mencairkan gaji ke-13 untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Agustus. Kebijakan ini bertujuan menggenjot konsumsi masyarakat yang turun selama pandemi virus corona. Namun, ekonom berbeda pandangan terkait upaya ini.
Rencana pencairan gaji ke-13 ASN pada Agustus disampaikan Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto kepada Katadata.co.id, Minggu (2/8). Tepatnya ia menyatakan, “sebelum pertengahan Agustus, kalau bisa lebih cepat lagi.”
Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar 28,5 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kebijakan ini yang akan diberikan kepada 4,1 juta ASN. Rincian penerimanya, tenaga administrator atau eselon 3 sebanyak 101.149 orang, dan tenaga pengawas atau eselon IV mencapai 327.915 orang.
Lalu, diberikan juga kepada eselon V sebanyak 14.989 orang, jabatan fungsional umum sebanyak 1,6 juta orang, dan jabatan fungsional teknis yang jumlahnya mencapai 2,1 juta orang.
Sementara pernyataan pencairan gaji ke-13 ASN untuk meningkatkan konsumsi keluar dari Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah diskusi daring pada 21 Juli lalu. Ia menyatakan, “pemerintah anggap pelaksanaan gaji ke-13 sama seperti THR bisa dilakukan untuk menjadi bagian dari stimulus ekonomi atau mendukung kemampuan masyarakat dalam lakukan kegiatan-kegiatannya, terutama terkait tahun ajaran baru.”
Hal ini, kata Sri Mulyani, lantaran selama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ekonomi masyarakat paling bawah tertekan. Sehingga, pencairan gaji ke-13 dan pensiunan bisa menjaga daya beli atau tingkat konsumsi rumah tangga.
Bisa Menggerakkan Usaha
Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad menyepakati pendapat Sri Mulyani. Ia pun berpendapat pencairan gaji ke-13 bisa menggerakkan usaha yang selama ini macet karena pandemi virus corona.
“Konsumsinya yang akan meningkat non-makanan dan UMKM, yang non-UMKM akan bergerak,” katanya, melansir Detik.com.
Tauhi menjelaskan, hal itu bisa terjadi lantaran pencairan gaji ke-13 akan melengkapi stimulus perlindungan sosial demi menjaga konsumsi masyarakat yang telah dikeluarkan pemerintah. Total anggaran pemerintah untuk stimulus ini senilai Rp 203,09 triliun.
Program-program perlindungan sosial pemerintah antara lain, program keluarga harapan (PKH), kartu sembaki, bansos sembako Jabodetabek, bansos tunai non-Jabodetabek, kartu prakerja, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa.
“Kita berharap itu dilakukan dan bisa mendorong UMKM tingkat lokal bekerja,” kata Tauhid.
Senada dengannya, Peneliti CSIS Fajar B. Hirawan menilai pencairan gaji ke-13 memang diperlukan. Dengan begitu konsumsi rumah tangga akan meningkat dan bisa mempercepat pemulihan ekonomi. Terlebih sasaran kebijakan ini adalah pejabat eselon III ke bawah yang jumlahnya lebih besar.
“Gaji ke-13 dapat membantu menjaga stabilitas daya beli mereka, yang pada akhirnya mampu menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga,” kata Fajar.
Belum Mampu Kerek Konsumsi Masyarakat
Pandangan berbeda datang dari Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah. Menurutnya, gaji ke-13 ASN tidak akan mengerek konsumsi masyarakat secara signifikan. Pasalnya, penerimanya akan cenderung menabungnya ketimbang membelanjakannya.
“Tidak akan cukup efektif bila untuk mendorong konsumsi masyarakat. walaupun ASN mendapatkan insentif, saya memperkirakan konsumsi tidak akan kembali ke level normal. Meski mendapat dana atau gaji, minat untuk berkonsumsi itu rendah,” kata Piter kepada Katadata.co.id (3/8).
Keputusan penerima gaji ke-13 menyimpan uangnya, kata Piter, lantaran kondisi perekonomian masih tidak menentu yang tampak dari proyeksi pertumbuhan ekonomi masih akan terkontraksi. Selain itu, virus corona yang belum terkendali juga menghambat minat masyarakat untuk berbelanja.
Minat masyarakat untuk berbelanja memang masih minim. Terlihat dari masih sepinya pusat perbelanjaan setelah dibuka kembali pada 15 Juni silam. Data Asosiasi Pengusaha ritel Indonesia (Aprindo) menyebut pengunjung yang datang ke mal hanya sekitar 30-40% dibandingkan saat sebelum pandemi virus corona. Nilai kerugian yang ditaksir pun mencapai lebih dari Rp 12 triliun.
Piter menambahkan, pengendalian wabah lah yang menjadi kunci penting memberikan rasa aman bagi masyarakat. “Kalau masih belum aman, ya siapa yang mau belanja,” Kata Piter.
Pengetatan PSBB Tambah Ketidakpastian Ekonomi
Piter juga menyinggung opsi pengetatan kembali PSBB setelah jumlah kasus harian di Indonesia mencapai angka lebih dari 1000 kasus. Opsi ini menurutnya semakin menambah ketidakpastian ekonomi, khususnya pada pelaku usaha.
“Apakah ada jaminan wabahnya berhenti kalau kita ketatkan lagi PSBB? Kan tidak. Pengetatan PSBB tidak akan menjadi solusi bila kesadaran mematuhi protokol kesehatan masyarakat masih rendah,” kata Piter.
Ketimbang mengetatkan lagi aktivitas perekonomian, Piter menyarankan peningkatan kedisiplinan masyarakat di masa pandemi. Sebab, menurutnya, ini yang bisa membuat aktivitas perkekonomian perlahan tumbuh serta menekan penyebaran virus Covid-19.
“Kalau wabahnya masih ada di luar sana dan masyarakat tidak patuh, kondisi ini akan terus terjadi di Indonesia. Seperti sekarang ini, konsumsi rendah dan wabah yang belum terkendali,” kata Piter.
Penyumbang Bahan: Muhamad Arfan Septiawan (Magang)